Sabtu, 15 Juni 2013

PERANAN ORANG TUA TERHADAP UPAYA PENNGKATAN MOTIVASI BELAJAR SISWA



PERANAN ORANG TUA TERHADAP UPAYA PENNGKATAN MOTIVASI BELAJAR SISWA
Oleh; Zaenuddin Kabai
(081342537529)

         Pentingnya pendidikan dalam rangka peningkatan sumber daya manusia (SDM) menuju peningkatan kualitas kehidupan suatu bangsa. Akan tetapi manakala penanganannya keliru, maka dapat berakibat bukan hanya keterbelakangan suatu bangsa karena suatu beban masyarakat semakin hari semakin tak terkendali- akan tetapi justru menyebabkan kehancuran suatu bangsa. Sebab dalam Al Qur’an tercantum hanya golongan yang akan diangkat derajatnya oleh Allah yakni; orang-orang beriman, dan orang-orang berilmu (Hasan, 1956)
         Dalam era informasi dan globalisasi, pendidikan diperhadapkan oleh tantangan untuk menyiapkan kualitas SDM menuju persaingan global, dan tuntutan kemampuan seluruh unsur untuk terlibat dalam membina anak secara berkesinambungan. Tentunya peranan orang tua sangat diharapkan untuk membangkitkan motivasi belajar anaknya dalam meningkatkan volume belajar guna mempersiapkan dirinya dalam menempuh kehidupan serba kompleks. Sementara itu sampai saat ini, masalah mutu pendidikan masih tetap menjadi isu sentral-sebagai salah landasan utama peningkatan SDM. Hal ini menandakan bahwa keprihatinan terhadap mutu pendidikan masih mewarnai perjalanan bangsa ini. Karenanya upaya maksimal terhadap peningkatan mutu pendidikan masih sangat diharapkan. Dengan indicator UMPTN, mutu pendidikan di Kabupaten Bantaeng khususunya SMA masih sangat jauh dari harapan.
         Sekalipun disadari bahwa telah banyak upaya dilakukan dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan kita tercermin pada kebijakan pendidikan yang ditekankan kepada ; (a) peningkatan mutu pendidikan, (b) perluasan kesempatan kerja, (c) peningkatan relevansi pendidikan dan dunia kerja, (d) peningkatan efisiensi dan efektivitas proses pembelajaran, (e) peningkatan kualitas tenaga pengajar melalui pelatihan dan pemberian rekomendasi izin belajar.
         Untuk memenuhi kebutuhan ini, tidak lain pemerintah senantiasa melakukan penambahan jumlah gedung sekolah, ruang belajar, perpustakaan, laboratorium dan fasilitas belajar lainnya, mengusahakan pembaharuan kurikulum yang seiring dengan pergantian menteri pendidikan, dan metode mengajar, ditambah lagi upaya peningkatan kualitas profesionalisme guru dengan penataran guru mata pelajaran, diklat proses belajar mengajar, pembuatan test dan penilaian hasil belajar. Selain itu pemerintah memacu peningkatan kinerja guru melalui pemberian tujangan sertifikasi (tunjangan profesi).
          Mensinyalir kondisi tersebut mengenai upaya pemantapan system pendidikan terutama peningkatan mutu pendidikan sebagian besar adalah masih merupakan upaya pemerintah. Sementara peranan keluarga belumlah mengambil bagian didalamnya. Padahal dalam UU SISDIKNAS 2003. Dinyatakan bahwa pelaksanaan pendidikan adalah tanggung jawab pemerintah, masyarakat dan keluarga.
          Peranan keluarga dalam pelaksanaan pendidikan sekolah anak-anaknya masih berkisar kepada pemberian sumbangan untuk fasilitas belajar sekolah, sedangakan menyangkut PBM seluruhnya diserahkan kepada sekolah atau guru. Padahal perlu dipertanyakan adalah sejauh manakah peranan keluarga dalam membina atau memantau kegiatan belajar anaknya dirumah, Apakah ada waktu yang disediakan untuk belajar dirumah, tanpa memberi pekerjaan untuk keperluan hidup sehari-hari ? apakah orang tua telah menyiapkan fasilitas belajar sesuai dengan kebutuhan belajar ?
          Berdasar dari latar belakang tersebut dapat disinyalir bahwa, kurang berperannya orang tua dalam meningkatkan motivasi belajar anaknya dirumah sebagai salahsatu penyebab rendahnya kualitas belajar sekaligus berakibat pada mutu pendidikan sulit ditingkatkan. Karenanya yang menjadi pemasalahan adalah(1) Sejauh mana peranan orang tua dalam upaya meningkatkan motivasi belajar anaknya, (2) Bagaimanakah kemampuan belajar anak dirumah. Dengan tujuan untuk mengkaji sejauh mana peranan orang tua dalam upaya meningkatkan motivasi belajar anaknya, (2) untuk mengetahui kemampuan belajar anak dirumah. Tulisan ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai : (1) sumbangan pemikiran kepada siapa saja yang menjadi penanggung jawab sekolah, (2) himbauan kepada orang tua,pemerintah, dan masyarakat untuk lebih meningkatkan perhatiannya kepada dunia pendidikan pada umumnya dan khususnya pendidikan anaknya sendiri,(3) salah satu motivasi bagai penulis untuk mengkaji lebih jauh tentang bagaimana peranan orang tua terhadap motivasi anak-anaknya.
A.Ketidakpedulian Orang Tua Terhadap Motivasi Belajar Anaknya
         Kurang berperanya orang tua dalam kegiatan belajar anaknya dirumah, tidak hanya terjadi dikalangan keluarga berekonomi lemah, tetapi juga berada dalam lingkungan keluarga berada. Keluarga yang mempunyai tingkat ekonomi biasanya tidak mampu menyiapkan fasilitas untuk belajar dirumah, waktu belajar dirumah digunakan untuk membantu orang tua dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.
          Sebaliknya , bagi kalangan keluarga ekonomi menengah keatas tidak ada waktu untuk berkonsultasi dengan anaknya mengenai kebutuhan belajarnya-bahkan ada yang beranggapan bahwa, semua bisa dipecahkan dengan uang saku. Anaknya akan belajar dengan sungguh-sungguh, jika disediakan fasilitas belajar yang berlebihan. Sungguh banyak orang tua melupakan bahwa ada kebutuhan tidak dapat diganti dengan uang, misalnya; tutur sapa, perhatian, pujian, dan kasih saying ibu dan ayah.
          Betapa kecewanya sang anak, jika saat dia memperlihatkan laporan kemajuan belajarnya kepada orang tuanya, sementara hanya dapat disambut dengan kata nanti saja-ayah masih banyak urusan. Frustrasi anak dapat berakibat pada timbulnya reaksi negative kearah eleminasi motivasi untuk berprestasi yang justru sangat merugikan pendidikannya.
B. Peranan Orang Tua Dalam Pembelajaran Anaknya Dirumah
          Tidak ada satupun yang menyangkal bahwa pendidikan itu berawal dilingkungan keluarga, tetapi dengan berkembangnya pendidikan sekolah, masyarakat berangsur-angsur mengurangi peranannya dalam mendidik anak-anaknya ddan diserahkan sepenuhnya kepada sekolah. Oleh sebab itu jika anak salah tingkah lakunya, kuarang terampil dalam pekerjaan sehari-hari sekalipun tidak ada hubungannya dengan pelajaran dsekolah, yang dipersalahkan adalah sekolah. Dikalangan orang tua sering terdengar ungkapan-percuma kamu disekolahkan kalau merapikan tempat tidur saja tidak mampu. Sekolahdianggap segalanya. Oleh sebab itu kuat alas an untuk mempersoalkan peranan keluarga dalam upaya peningkatan motivasi belajar siswa atau anaknya, terutama dlam mengambil kebijaksanaan yang menempatkan kembali keluarga sebagai pendidik pertama dan utama. Dalam era ilmu pengetahuan dan teknologi, diomana era industrialisasi senantiasa diwarnai dengan kesibukan dan menyita waktu, pendidikan pertama dan uatama memerlukan pengaturan waktu yang tepat. Didalamnya tersedia waktu untuk anak-anak beserta anggota keluarga, konsultasi mengenai kebutuhan masing-masing dalam suasana keakraban, dengan kata lain perlu terciptanya suasana hidup bersama dalam lingkungan keluarga yang menyenangkan.
            Suasana menyenangkan dalam lingkungan keluarga tidak hanya ditentukan oleh melimpahnya perabot dan alat-alat rumah tangga serba canggih, tetapi juga komunikasi yang akrab, sapaan yang mesra, interaksi yang gembira, penuh pengertian dan kasih saying. Barometernya bukan materi, tetapi kepuasan batin. Dengan suasana menyenangkan dalam lingkungan keluarga dapat membawa anak dalam suasana lebih bergairah untuk belajar, tentunya dengan demikian dapat pula meningkatkan motivasi belajar siswa menuju peningkatan prestasi belajar. Para ahli pendidikan berpendapat bahwa anak-anak nakal peda umumnya berasal dari keluarga kurang peduli terhadap aktivitas anak-anaknya.Terutama pada aktivitas belajar anak-anaknya.
            Menurut Slameto (2003) peranan ayah dalam pendidikan anak adalah seperangkat kegiatan terpola yang biasa dilakukannya sebagai; (1) Provider yaitu penyedia fasilitas belajar, buku dan alat-alat tulis, jadwal belajar dan kegiatan sehari-hari, buku konsultasi/PR/latihan, (2) Teacher atau pendidik; menjelaskan perlunya dan menasehati agar belajar dengan rajin dan berprestasi, apa saja yang boleh dan tak boleh dilakukan, menegur bila anak lalai dalam tugas dan dan member sanksi jika dipandang perlu, (3) problem solver atau pembimbing; membantu memecahkan masalah anak dan pembuat keputusan dalam belajar/sekolah, Menyangkut langkah-langkah apa saja yang ditempuh anak dalam belajar, menceknya, dan menanyakan nilai yang diperoleh disekolah, untuk model atau teladan kehidupan rutin setiap hari, mengatur waktu nonton TV, menyuruh anak belajar sesuai jadwal. Selanjutnya dikatakan pentingnya peran ayah bagi perkembangan pribadi anak, baik social, emosional maupun intelektualnya/kemampuan-kemampuannya sehingga member peluang untuk sukses belajarnya, identitas gender yang sehat, perkembangan moral dengan nilainya dan sikses lebih utama dalam keluarga dan kerja/kariernya kelak. Selain itu menegaskan bahwa terhadap semua itu pengaruh peran ayah yang peling kuat adalah terhadap prestasi belajar anak dan harmonisasi hubungan social.
            Apatah lagi dalam menghadapi masa-masa yang akan datang penuh dengan tantangan persaingan dalam memperebutkan suatu kesempatan berbagai aspek kehidupan, tentunya diperlukan ketangguhan, keuletan dan kecerdasan baik dari kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional maupun kecerdasan spiritual dalam menghadapai suatu masalah. Dengan kata lain sangat diharuskan selalu ada kerjasama antara sekolah dan orang tua. Terutama perhatian orang tua terhadap kegiatan belajar anak-anaknya, dan pemenuhan fasilitas belajar merupakan faktor penentu utama selain faktor lainnya. Tanpa itu semua maka harapan untuk meningkatkan kualitas kecerdasan pebelajar sulit diwujudkan menjadi nyata.
            Belum memadainya perhatian orang tua terhadap pendidikan anak-anaknya, baik orang tua murid terpelajar, ekonomi lemah, maupun urang tua murid dengan golongan ekonomi menengah keatas, baik orang tua bermukim dipedesaan maupun didaerah perkotaan adalah sebagai akibat dari kecenderungan pemikiran kalangan keluarga atau orang tua murid terhadap output pendidikan; (1) lepas tangan kepada masalah belajar anaknya, semuanya diserahkan kepada sekolah, (2) lebih mengutamakan infestasi material ketimbang infestasi intelektual, (3) Mengupayakan anaknya naik kelas terus menerus dan ujian akhir dengan nilai yang amat baik atas kebijaksanaan guru/pihak sekolah, (4) menyalahkan guru kalau prestasi belajar anak-anaknya rendah, (5) tidak ada upaya untuk mengikutkan anaknya ikut bimbingan belajar dimana saja sesuai dengan kepentingan belajar dengan alas an tidak ada biaya.
                Padahal jika peranan ayah terlaksana secara serius maka menurut National parents teacher asosiation dalam (Slameto, 2003) yang mendasarkan hasil-hasil penelitian selama bertahun-tahun, menyimpulkan manfaat peran ayah adalah ; makin baiknya perkembangan anak secara pisik sosio emosional, keterampilan, kognitif, pengetahuan dan sikap dan bagaimana anak belajar sehingga prestasi belajarnya lebih tinggi sering mendapat nilai A (9-10).
               Kehadiran sekolah lebih tertib/disiplin serta aktif dalam intrakkokurikuler, menyelesaikan dengan tepat dan benar PR, bersikap lebih positif terhadap sekolah, mendapat rangkin yang lebih tinggi, dan setelah tamat SLTA memasuki perguruan tinggi pavorit.
C. Kemampuan Anak Belajar Dirumah
             Pada dasarnya semua ahli pendidikan mengakui bahwa ada 3 pusat pendidikan yaitu; keluarga, masyarakat, dan sekolah. Akan tetapi makalah ini memusatkan perhatian pada kepedulian orang tua terhadap pendidikan atau kegiatan belajar anak-anaknya dirumah. Memang penulis menyadari bahwa tidak semua orang tua tidak peduli, akan tetapi kajian ini adalah orang tua yang tidak peduli kegiatan belajar anak-anaknya dirumah. Apakah anak takut belajar dirumah dengan mengandalkan pantauan, peringatan, dorongan belajar dan menyediakan waktu dan fasilitas belajar dari orang tua ? Jawabnya terdapat dalam teori belajar dan membelajarkan.
             Menurut aliran ilmu Gestalt dalam (Sardiman, 2003) beberapa perinsip belajar yang penting antara lain : (1) Manusia berinteraksi dengan lingkungannya secara keseluruhan tidak hanya secara intelektual, tetapi juga secara pisik, emosional, social dan sebagainya, (2) Belajar adalah menyesuaikan diri dengan lingkungan, (3) Manusia berkembang secara keseluruhan sejak dari kecil sampai dewasa, lengkap dengan segala aspek-aspeknya, (4) Belajar adalah perkembangan alat diferensiasi yang lebih luas, (5) Belajar hanya berhasil apabila kematangan untuk memperoleh insting,(6) Tidak mungkin ada belajar tanpa kemauan untuk belajar, motivasi member dorongan yang menggerakkan seluruh organism, (7) Belajar akan berhasil kalau ada tujuan, (8) Belajar merupakan suatu proses bila seseorang itu aktif, bukan ibarat suatu bejana yang diisi.
             Pernyataan  tersebut diatas maka manusia bukan hanya mempunyai kebutuhan akan pendidikan, tetap juga mempunyai kemampuan untuk di didik, yang disebabkan oleh adanya kemampuan belajar atau bakat belajar, minat belajar, sikap terhadap pelajaran serta motivasi belajar. Tak seorangpun yang dapat menyangkal bahwa manusia dapat menjangkau pengetahuan yang sangat tinggi, sehingga dapat menguasai alam, mangarungi samudera dan menjelajah ruang angkasa. Manusia bukan saja dapat dipandang sebagai makhluk yang mempunyai bakat, tetapi untuk menjamin eksisitensinya, manusia harus mencapai prestasi besar dalam belajar. Sekalipun keberhasilan itu tidak mungkin tanpa optimalisasi peranan orang tua dalam memotivasi anaknya untuk belajar. Sebab menurut Sardiman (2003) dalam kegiatan belajar adalah  merupakan faktor yang sangat penting, selalu ada halangan/kesulitan, memerlukan aktivitas, dan dalam menghadapi kesulitan sering terdapat kemungkinan bermacam-macam respon.
D. Unsur-unsur Yang Mempengaruhi Belajar           
         Belajar memang diperlukan ketekunan atau keseriusan seluruh potensi, sekalipun demikian terkadang dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Robert dalam (Natawidjaja, 1979) secara garis besar belajar dipengaruhi oleh faktor interen dan faktor eksteren.
        Faktor interen terdiri dari; (1) kegiatan belajar sesuai dengan perubahan biologis, (2) belajar untuk belajar, artinya menilai dasar yang paling ringan/mudah sampai pada yang paling berat atau paling tinggi, (3) kemampuan belajar hal sangat terkait dengan bakat sejak lahir, (4) kumpulan persepsi dan pengertian yang menjadi dasar seseorang anak didalam mempelajari sesuatu pengalaman belajar baru.
         Faktor eksteren terdiri dari; (1) Kontiguitas, artinya peristiwa belajaryang terjadi hamper secara serentak, (2) latihan, berarti mengulang sewaktu adanya ransangan, (3) penguatan, seperti pujian, pemberian hadiah.
         Thomas F. Staton dalam ( Sardiman, 2003) menguraikan enam macam faktor psikologis dalam belajar, yakni : (1) motivasi, mengetahui apa yang akan dipelajari, memahami mengapa hal tersebut dipelajari, (2) konsentrasi, (3) reaksi, artinya diperlukan keterlibatan unsure fisik maupun mental, (4) organisasi, artinya menempatkan bagian-bagian pelajaran kedalam suatu pengrtian, (5) pemahaman, (6) ulangan.
          Berdasarkan pendapat tersebut diatas maka motivasi belajar adalah merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan keberhasilan seseorang untuk belajar lebih giat, sedangkan belajar lebih giat sangat menentukan prestasi belajar sisiwa. Oleh karenanya peranan orang tua dalam memotivasi anaknya guna meningkatkan aktifitas belajar anaknya sangat diharapkan. Sementara motivasi akan muncul manakala : (1) adanya ingin tahu, (2) adanya sifat kreatif, (3) adanya keinginan untuk mendapatkan simpati dari orang tua, guru, danteman-temannya, (4) adanya keinginan untuk memperbaiki kegagalan, (5) adanya keinginan untuk mendapatkan rasa aman, (6) adanya ganjaran, Arden N. Fandsen dalam (Suryabrata, 2002).
           Berpijak dari beberapa pendapat tersebut, barangkali tidaklah berlebihan manakala para ahli psikologi berpendapat bahwa manusia dapat dididik dan dilatih, karena mempunyai bakat belajar. Selain itu manusia bukan saja membutuhkan pendidikan, tetapi juga mampu mendidik karena mempunyai bakat belajar dan memungkinkan manusia dapat menjangkau pengetahuan yang sangat tinggi sehingga dapat mengatasi alam, mengarungi samudera dan menjelajah ruang angkasa. Manusia bukan saja sekedar dapat dipandang mempunyai bakat belajar untuk menjamin eksisitensinya, tapi manusia harus mencapai prestasi yang besar dalam belajar.
           Sebenarnya sebelum memasuki taman kanak-kanak dan sekolah dasar, anak-anak telah memiliki beberapa pengetahuan, yang tentunya diperoleh melalui proses belajar. Ini berarti bahwa sebelum masuk sekolah, anak-anak telah melakukan berbagai kegiatan belajar. Mereka belajar melalui proses interaksi dengan lingkungannya, terutama lingkungan keluarga. Mereka belajar pada anggota keluarga, teman-teman, pada siapa saja disekitarnya. Tetapi keluarga yang paling dekat sehingga dikatakan terutama dilingkungan keluarga.
            Gejala belajar diluar pengawasan, tidak hanya terdapat dikalangan anak-anak, tetapi juga murid-murid yang duduk dibangku sekolah.Kegiatan murid-murid disekolah sebagian besar hanya menyalin pelajaran, melalui diktat atau papan tulis. Apa yang dimaksud dengan minggu tenang yang biasanya diadakan menjelang ulangan umum, tapi kenyataannya ada

lah minggu kesibukan belajar dirumah, karena pada waktu itu murid-murid mendapat peluang waktu sangat berharda untuk belajar intensif menghadapi ulangan umum semester, penaikan kelas atau ujian akhir.Sekalipun demikian itupun masih lebih baik ketimbang hanya menunggu kunci jawaban dari teman-temannya.
              Psikolog modern pada umumnya mengakui bahwa manusia ketika dilahirkan baru memiliki kemammpuan. Kemampuan yang potensial atau belum terwujud. Pengetahuan berawal pada kekagumana manusia akan alam yang dihadapi, baik besar maupun kecil. Manusia dibekali hasrat ingin tahu. Sifat ingin tahu manusia ditunjukkan sejak anak-anak, ditandai dengan seringnya mengemukakan pertanyaan-pertanyaan dan berusaha menemukan jawabannya- baik melalui pertanyaan kepada yang lebih tua atau yang dituakan, maupun melalui gerakan untuk mencari yang sering dinilai oleh orang dewasa gelisah atau rewel bahkan ada yang mengatakan jamala (bahasa daerah Bantaeng). Dari dorongan ingin tahu, manusia berusaha menemukan pengetahuan mengenai hal yang dipertanyakan. Maka kelirulah pendapat yang menganggap bahwa hanya dapat belajar kalau diawasi oleh guru. Dengan demikian kekeliruan orang tua yang menyerahkan segala urusan belajar dan pembelajaran untuk anak-anaknya pada sekolah.
             Tidak boleh ditepis bahwa guru yang karena tugasnya telah dilatih lebih dahulu untuk mengajar secara sistimatis dan metodis, dan oleh karenanya hasilnya dapat lebih baik. Selain itu Sardiman (2003) mengatakan bahwa guru hanya memiliki kemampuan professional, memiliki kapasitas intelektuan, memiliki sifat edukasi sosia. Akan tetapi perlu diingat bahwa guru hanya dapat mengantar murid kedalam situasi belajar, yang belajar adalah siswa itu sendiri. Kemudian kemampuan atau motivasi belajar siswa, selain itu dipengaruhi oleh situasi belajar yang diciptakan oleh orang tua dirumah, kalau disekolah gurulah yang berperan, kalau dirumah orang tualah yang berperan dan keduanya saling mendukung dan saling melengkapi.
            Belajar adalah suatu upay perubahan perilaku, dapat pula diartikan sebagai kegiatan psiko-fisik keperkembangan peribadi seutuhnya Sardiman (2003). Sedangkan perilaku seseorang mencerminkan keinginan-keinginan dan tujuan-tujuannya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa belajar sebagai perilaku adalah kegiatan yang bertujuan, karenanya didalamnya terdapat motivasi,  minat, sikap, bakat dan kemampuan baik IQ, EQ, SQ, maupun social question (SOC.Q). Sangat menentukan keberhasilan belajar.
             Setiap aspek dari tingkah laku manusia dirumah, sekolah, atau dimasyarakat, hanya dapat dipahami dari segi kebutuhan dan pemuasannya, sehubungan dengan tuntutan-tuntutan situasi yang dihadapi oleh individu itu. Dia menempatkan kebutuhan sebagai dasar dari segala tindakan manusia, sehingga kebutuhan dan korelasinya dengan motivasi dipandang sebagai kunci utama dalam membimbing tingkah laku manusia. Arden N. Frandsen dalam (Suryabrata, 2002). Selanjutnya Sardiman (2003) mengatakan bahwa kebutuhan siswa terdiri dari; (1) kebutuhan social, (2) kebutuhan intelektual.
             Sedangkan Robert dalam Sardiman (2003) melihat perlunya kebutuhan siswa dipenuhi agar mereka memperoleh kepuasan belajar. Siswa sebagai subyek belajar maka yang harus dipenuhi adalah; (1) memahami dan menerima keadaan jasmani, (2) komunikasi dengan teman-temannya, (3) komunikasi Yang lebih matang dengan orang dewasa, (4) mencapai kematangan emosional, (5) kemandirian dalam lapangan financial, (6) mencapai kematangan intelektual, (7) membentuk pandangan hidup, (8) kesiapan untuk berumah tangga. Kedelapan kebutuhan tersebut ini, bagi setiap orang harus dipenuhi, sekaligus dijadikan sebagai salah satu upaya orang tua agar dapat memotivasi anaknya kearah konstruktif dan produktif dalam belajar, baik dirumah maupun disekolah.
           Berdasar dari sudut pandang teori belajar dan membelajarkanmemberi tempat pada paranan keluarga untuk memberikan motivasi kepada anak-anaknya agar belajar dengan sungguh-sungguh mutlak dikerjakan dirumah. Kepedulian orang tua terhadap kegiatan belajar anak-anaknya sangat dibutuhkan. Bagaimanapun juga anak-anak masih perlu diperingatkan, didorong atau diberikan motivasi untuk belajar. Anak-anak memang memerlukan paerhatian. Kalau tidak diperhatikan, maka dia akan berusaha menarik perhatian dengan perilaku yang anrh-aneh.
E. Kerangka Pikir
           Keluarga (orang tua), Sekolah, Masyarakat, berpadu dalam memotivasi siswa menuju peningkatan prestasi belajar.
          



 






PENUTUP
          Berdasar dari uraian tersebut penulis berkesimpulan bahwa keluarga sebagai pusat pendidikan pertama dan utama. Oleh karena itu kajian mengenai peranannya merupakan suatu kemutlakan. Dalam rangka peningkatan prestasi belajar siswa. Karena ada gejala menunjukkan kecenderungan orang tua lepas tangan terhadap pembelajaran anak-anaknya dan menyerahkan sepenuhnya kepada sekolah terutama yang berhubungan dengan proses belajar mengajar, dengan berbagai alas an kesibukan dan halangan sehingga mereka tidak sempat untuk berperan sebagai motivator terhadap anak-anaknya. Makanya itu disarankan kepada orang tua demi masa depan anaknya; (1) peran sertanya dalam mengawasi kegiatan belajar anak-anaknya dirumah sangat diharapkan, (2) pemberian sapaan sehubungan dengan pelajarannya, memberikan peringatan, anjuran atau dorongan untuk belajar adalah merupakan hal yang sangat menentukan keberhasilan belajar anak-anaknya. (3) memperlihatkan kebutuhan belajar anaknya dengan jalan menyediakan fasilitas belajar sesuai dengan kebutuhan anak dan kemampuan orang tua, (4) penyediaan waktu yang cukup untuk belajar dengan jalan mengurangi atau membebaskan dari tugas-tugas membantu orang tua dan urusan keluarga adalah merupakan salah satu solusi.   

Daftar Bacaan
Hasan A.  1956.   Tfsir Al-Furqan. Bangil
Natawidjaja Rachman, 1979. Psikologi Pendidikan. Jakarta: CV.Mutiara
Salim Peter, 1991. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer. Jakarta : Penerbit Moderen English    press.
Sardiman, 2002.Interaksi dan motivasi belajar mengajar. Jakarta; PT.Raja GrafindoPersada
Suryabrata Sumadi, 2002.Fsikologi Pendidikan.Jakarta ; PT.Raja Grafindo persada
Slameto, 2003. Peranan ayah dalam pendidikan anak. Salatiga; (Satya Wiydya Vol 15 No1. 2002)
UU. Sisdiknas, 2003. (UU RI No.20 Th 2003). Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada
Veisey John, 1982. Pendidikan di Dunia Modern. Jakarta ; Gunung Agung.       


Jumat, 08 Maret 2013

PERANAN BELAJAR DALAM MENATA KEHIDUPAN HARI ESOK



PERANAN BELAJAR DALAM MENATA KEHIDUPAN HARI ESOK
Zaenuddin Kabai
Guru SMAN 2 Bantaeng
(081342537529)

PENDAHULUAN
                Barangkali penulis tidak terlalu berlebihan kalau sudah mengatakan bahwa tanpa belajar tidak mungkin mendapat ilmu apa lagi kalau dikatakan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) sebab ilmu atau ilmu pengetahuan kata suparlan (2003). Kalau hanya ilmu adalah mengenai sekitar pengetahuan fisis, dan karena itu praktis, pragmatis dan positivistis. Sedangkan pengetahuan menyangkut fisis, kualitatif, dan spekulatif. Kendatipun keduanya sama pentingnya bagi hidup dan kehidupan manusia. Sebab ilmu membentuk daya intelegensi dan melahirkan adanya skill atau keahlian dan keterampilan yang bisa memproduksi dan mengkonsumsi masalah-masalah atau kebutuhan keseharian. sedangkan pengetahuan melahirkan daya moralitas keilmuan menuju  lahirnya tingkah laku dan aktifitas yang berhubungan dengan masalah-masalah yang tercakup didalam tujuan akhir kehidupan manusia. oleh karena itu masalah belajar meruapakan masalah pendidikan. Sedangkan masalah mendidik adalah masalah setiap orang. Karena setiap orang sejak dahulu hingga sekarang tentu berusaha mendidik anak-anaknya dan atau anak-anak lain diserahkan kepadanya untuk dididik.                 Demikian pula masalah belajar dan mengajar dapat dikatakan sebagai tindakan pelaksanaan usaha pendidikan, adalah masalah setiap orang. Tiap orang boleh dikatakan selalu belajar juga dalam arti tertentu mengajar ; misalnya; guru mengajar murid-muridnya, atau membelajarkan murid-muridnya, kepada kantor mengkader pengawai-pegawainya, dokter mengajar pasien-pasiennya tentang cara-cara penjagaan kesehatan dan sebagainya.       Oleh karena belajar dan membelajarkan adalah masalah setiap orang, maka merupakan satu hal yang sangat penting dipermasalahkan pada tulisan ini adalah ,(1) Apakah belajar itu, (2)  Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi belajar, (3) mengapa belajar dikatakan menata hari esok. Dengan tujuan disatu sisi untuk memahami lebih jauh tentang apakah itu belajar. Disisi lainnya, Untuk mengkaji faktor-faktor yang berpengaruh dalam belajar, Untuk mengkaji mengapa belajar sehingga dikatakan menata hari esok. Agar dapat bermanfaat bagi  siapa saja yang ingin mengetahui tentang  (1) Apa itu belajar, (2) Faktor-faktor yang mempengaruhi belajar, (3) mengapa belajar dikatakan menata kehidupan hari esok.
BELAJAR
           Berbicara mengenai belajar,maka akan diperhadapkan dengan kata perbuatan. Sedangkan perbuatan itu bermacam-macam, begitu pula perbuatan belajar. Banyak kegiatan yang hampir setiap orang sepakati kalau disebut perbuatan belajar,misalnya mendapatkan perbendaharaan kata-kata baru, menghapal syair , menghapal nyanyian,dan bahkan pekerjaan yang sudah dilakukanpun terkadang masih dianggap belajar. Dalam kenyataan sehari-hari ada beberapa aktifitas sepertinya kurang begitu jelas apakah tergolong sebagai perbuatan (hal) belajar ,misalnya : mendapakan bermacam-macam sikap sosial (misalnya prasangka), kegemaran, pilihan dan lain-lainnya. Oleh karena itu Cronbach dalam (Suryabrata,2002) mengatakan belajar  sebaik-baiknya adalah dengan mengalami, dan dalam mengalami itu sipelajar mempergunakan panca inderanya. Begitu pula pendapat aliran skolastis, belajar pada hakikatnya ialah mengulang-ulang bahan yang harus dipelajari. Sehingga dengan demikian dapat dihayati dan diaplikasikan sesuai dengan kebutuhan hidup baik sekarang maupun masa dating.Dalam waktu singkat belajar dengan tujuan untuk ulangan harian atau evaluasi lainnya. Sedangkan kebutuhan masa datang ilmu yang dipelajari dapat meningkatkan kecerdasan pebelajar agar kelak dapat bermakna baik untuk dirinya , masyarakat umum. Dapat dikatakan untuk kemaslahatan masyarakat banyak dan bukan untuk memusnahkan sendi-sendi kehidupan masyarakat banyak.  
                Berdasarkan pengertian tersebut maka tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa : (1) Belajar itu membawa perubahan dari yang tidak tahu menjadi tahu,yang tahu menjadi lebih tahu, (2) perubahan itu pada pokoknya adalah dari yang kurang lancar menjadi lancar atau menjadi paham atau mengerti,(3) Perubahan itu terjadi karena usaha yang disengaja(4) Mendapatkan kecerdasan baik untuk masa sekarang, maupun masa datang.

BEBERAPA FAKTOR YANG BERPENGARUH DALAM BELAJAR
             
              Menyimak keempat makna dalam pengertian belajar, maka timbul pertanyaan mengapa tidak semua pebelajar dapat mencapai hasil yang diinginkan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yang ikut berpengaruh didalamnya, yakni; faktor ekstern dan intern pebelajar.
               Faktor ekstern yang sering berpengaruh dalam kegiatan belajar diantaranya; (1) faktor non sosial seperti kondisi alam, waktu, tempat, pasilitas belajar harus memenuhi syarat pertimbangan didaktis, psikologis, dan faedagogik, dan andragogi.  Suryabrata (2002).(2) faktor sosial dalam belajar seperti pada waktu belajar kedatangan tamu, percakapan disamping ruangan yang sementara ujian, atau keluar masuk ruangan dan sebagainya. Hal seperti ini terkadang mengganggu proses belajar dan ujung-ujungnya prestasi belajar ikut terpengaruh, karena perhatian tidak terfokus pada hal yang dipelajari. Oleh karena itu menurut Sardiman (2003) pengaturan terhadap kondisi pembelajaran merupakan suatu keharusan agar pelaksanaan belajar berlangsung sesuai dengan keinginan pendidikan.
              Faktor Intern, dalam hal ini dapat digolongkan menurut Dan Zigen dalam (Suryabrata,2002) menjadi dua yakni; (1) faktor fsiologis dalam belajar yang terdiri dari; tonus jasmani pada umumnya, dan  keadaan fungsi-fungsi jasmani/fsiologis tertentu, (2) faktor-faktor fsiokologis dalam belajar terdiri dari; bakat, minat, sikap dan usaha belajar, kecerdasan dan intelegensi, motivasi pebelajar.
           Faktor fsiologis dalam belajar dari segi keadaan tonus jasmani pada umumnya, keadaan jasmani yang segar akan lain pengaruhnya dengan keadaan jasmani yang kurang segar. Keadaan jasmani yang lelah lain pengaruhnya dari pada yang tidak lelah. Hal ini mungkin sebagai akibat dari; (1) karena kekurangan kadar makanan, ini akan mengakibatkan kurangnya tonus jasmani, yang pengaruhnya dapat berupa kelesuan, lekas mangantuk, lekas lelah dan sebagainya. Apatah lagi anak-anak usia muda, pengaruhnya masih sangat besar Dan Zigen dalam ( Suryabrata,2002). (2) beberapa penyakit yang kronis sangat mengganggu belajar itu, penyakit-penyakit seperti pilek,infliensa, sakit gigi, batuk dan sejenisnya biasanya diabaikan karena dipandang tidak cukup serius untuk perhatian dan pengobatan, akan tetapi dalam kenyataannya penyakit seperti itu sangat mengganggu aktifitas belajar, (Suryabrata,2002).
            Faktor fsiologis dari segi keadaan fungsi-fungsi jasmani/fsiologis tertentu terutama fungsi-fungsi panca indera (Suryabrata, 2002). Berfungsi baiknya panca indera adalah merupakan syarat utama berlangsungnya belajar dengan baik. Terutama pada belajar dengan melalui system persekolahan. Dewasa ini system persekolahan seperti mata dan telinga sangat memegang peranan. Karena itu menjadi kewajiban setiap pendidik untuk menjaga agar panca indera anak didiknya dapat berfungsi dengan baik, baik penjagaan yang bersifat kuratif maupun yang bersifat prefentif, seperti adanya pemeriksaan dokter secara priodik, penyediaan alat-alat pelajaran, serta perlengkapan yang memenuhi syarat, dan penempatan murid-murid dikelas (pada sekolah-sekolah) dan sebagainya. Akan tetapi manakala terdapat salah seorang siswa mengalami gangguan penglihatan dan pendengaran maka penggunaan kaca pembesar, menggunakan buku dengan cetakan tulisan besar, alat bantu pendengar guna mambantu dalam pengadaptasian materi pelajaran dalam kelas. Selanjutnya sebagai program tambahan adalah dengan pengajaran dan tes tambahan yang berfokus pada pemahaman kata-kata dengan mulut, penggunaan bahasa isyarata dan ejaan dengan menggunakan jari-jari tangan (Sardiman,2003).
            Faktor-faktor psikologis dalam belajar dari segi bakat, Rukadjat (1973) Melihat pengertiannya maka, bakat adalah kemampuan khusus sebagai pembawaan dari lahir dan sering juga diistilahkan kemampuan dasar yang dimiliki oleh siswa. Bahkan ada pendapat mengatakan, kecepatan belajar yang ada dalam diri siswa disekolah itu dapat terjadi karena pembawaan mereka sejak lahir. Sekalipun ada pendapat bahwa bukanlah semata-mata karena bakat yang menyebabkan orang berhasil dalam belajar akan tetapi masih banyak yang lainnya.
             Faktor-faktor psikologis dalam belajar dari segi minat, Rukadjat (1973) mengatakan, minat adalah kemampuan yang terdapat dalam hati atau suatu gairah, keinginan. Oleh karena itu kesuksesan belajar sangat dipengaruhi oleh apakah peserta belajar menaruh minat pada pelajaran tersebut dan bahkan ingin memilikinya apalagi ingin mengaplikasikannya setelah mereka miliki. Begitupula sebaliknya pebelajar akan menghindari pelajaran manakala tidak berminat dan kalau membelakangi secara pasti tidak mungkin memilikinya. Salah satu hal dapat memperkuat minat, manakala dilingkungan indifidu bersangkutan dapat dijadikan alat untuk mencapai tujuannya.              
            Faktor-faktor psikologis dalam belajar dari segi sikap dan usaha belajar, Rukadjat (1973), belajar sangat dipengaruhi oleh pendirian dan kreatifitas peserta belajar secara sukarela, bahkan ada yang mengatakan bahwa cerdas bagaimanapun seseorang tidak mungkin akan sukses belajar manakala tidak ditunjang oleh sikap positif dan usaha sukarela dalam menghadapi proses pembelajaran yang dijalaninya itu.                 
            Faktor-faktor psikologis dalam belajar dari segi kecerdasan dan intelegensi, Menurut beberapa ahli diantaranya; Symderman dan Rothan (suryabrata, 2002) intelegensi terdiri dari tiga bagian yaitu kemampuan untuk memperoleh pengetahuan, kemampuan untuk berpikir dan memberikan alas an atau jawaban yang abstrak, dan kemampuan untuk memecahkan masalah (problem solving), Senada ungkapan Super dan Crites dalam(Suryabrata 2002) intelegensi, kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan atau belajar dari pengalaman. Begitupula Garet dalam (Veizey,1982) intelegensi adalah kemampuan-kemampuan yang diperlukan untuk memecahkan masalah-masalah yang memerlukan pengertian dan symbol-simbol. Tidak jauh berbeda ungkapan Bischof dalam (Suryabrata 2002) bahwa intelegensi, kemampuan untuk memecahkan segala jenis masalah.Bahkan lebih jelas lagi Faham Teologis, mengatakan bahwa intelegensi merupakan suatu kemampuan yang dimiliki oleh setiap orang untuk memilih atau menentukan mana ayng haram dan mana yang halal, selanjutnya mampu menentukan pilihan kearah yang benar.
            Berdasar dari pendapat dari beberapa ahli tersebut , maka suatu kawajaran jika intelegensi dapat diklasifikasikan manjadi empat macam; Intelegensi question (IQ), kemampuan intelektual yang dimiliki oleh seseorang, Sedangkan Emosional Quetsion(EQ),kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi, begitupula Spiritual Quetsion(EQ), kemapuan keberpihakan seseorang kepada kebenaran ayng hakiki, dan tidak ketinggalan Sosial Quetsion(SLQ). Kemampuan yang dimiliki setiap orang untuk menyesuaikan diri terhadap situasi yang baru , serta mampu melakukan refleksi terhadap situasi yang berkembang, dan sekaligus melakukan partisipasi aktif dalam melakukan suatu perubahan untuk kemaslahatan orang banyak.
           Faktor-faktor psikologis dalam belajar dari segi metivasi belajar, Merupakan suatu dorongan baik itu dari dalam individu maupun yang bersumber dari luar ekstern menurut Maslow yang dikutip oleh Frendsen (dalam Suryabrata 2002) motif-motif untuk belajar karena adanya kebutuhan fisik, adanya kebutuhan rasa aman, karena ingin merasa aman/bebas dari kehawatiran, karena butuh rasa cinta/perhatian,karena butuh penghargaan dari masyarakat.Pendapat lain seperti Arden N.Frandsen, bahwa hal yang mendorong seseorang untuk belajar ;(1)adanya sifat ingin  tahu dan menyelidiki dunia yang lebih luas,(2) adanya sifat yang kreatif yang ada pada manusia dan keinginan untuk selalu maju,(3) adanya keinginan untuk mendapatkan simpati dari orang tua,guru,dan teman-teman.(4) adanya keinginan untuk memperbaiki kegagalan yang lalu dengan usaha yang baru,baik dengan koperatif maupun kompetisi,(5) adanya ganjaran atau hadiah sebagai akhir dari belajar,(6)adanya keinginan rasa aman bila menguasai pelajaran.
          Menyimak kedua pendapat tersebut maka barangkali tidak berlebihan jika dikatakan bahwa, motivasi intern berasal dari adanya sifat kreatifitas dan keinginan selalu ingin tahu kepada seluruh aspek terutama apa yang mereka pelajari demi perkembangan kearah kemajuan.Sedangkan motivasi ekstern lahir karena keinginan untuk mendapatkan pengakuan diberbagai pihak secara universal.

MENGAPA BELAJAR DIKATAKAN PERSIAPAN HARI ESOK    
            Kemajemukan kebutuhan-kebutuhan pebelajar, maka sebagai pendidik diharapkan senantiasa mengenal kebutuhan mana yang dominan bagi anak didiknya sebagai pebelajar sekalipun usia muda terkadang belum jelas cita-cita masa depan yang sebenarnya.Karena itulah sebagai pendidik diharapkan berinisiatif untuk merumuskan tujuan-tujuan sementara yang dekat sebagai cita-cita sementara supaya hal ini merupakan motivasi atau pendorong yang kuat bagi siswa untuk belajar.
           Hal inilah sehingga belajar dikatakan penentu utama hari esok, sebab yang dilakukan hari ini adalah untuk masa datang. Belajar hari ini tiada lain untuk masa datang, makanya itu secara teoritis kegagalan dalam pembelajaran hari ini merupakan gambaran untuk kegagalan hari esok. Menata masa depan tanpa belajar maka sama halnya merencanakan kegagalan. Maka dari itu, pandangan teologis mengatakan bahwa untuk menggapai kebahagiaan dunia, kuasai ilmu pengetahuan, begitupula kebahagiaan dihari kemudian kuasailah ilmu. Sementara ilmu pengetahuan tidak akan mungkin tanpa belajar. Apatahlagi ketika mengharapkan eksitensi masa depan yang cemerlang tidak akan mungkin tanpa Iman dan Ilmu. 

PENUTUP
           Belajar, merupakan usaha disengaja secara sukarela menuju pada perubahan dari yang tidak tahu menjadi tahu, dari kurang lancar menjadi lancar suatu ilmu pengetahuan dan teknologi. Agar kelak menjadi miliknya, kemudian dapat dijadikan sebagai alat dalam menata kehidupan hari esok yang lebih baik. Sekalipun dalam belajar tidak terlepas dari beberapa pengaruh baik itu bersumber dari dalam diri (intern) pebelajar maupun bersumber dari luar (ekstern). Dari kedua faktor tersebut saling berpengaruh antara satu dengan lainnya, kendatipun kesemuanya itu yang paling menentukan terletak pada penanaman motivasi terhadap peserta belajar.
             Oleh karena proses belajar dipengaruhi oleh banyak faktor, maka diharapkan pendidik mengatur faktor-faktor tersebut supaya berpengaruh positif bagi anak didik.Selain itu heterogenitas aspirasi para anak didik perlu diketahui oleh kalangan pendidik dan bertindak sesuai dengan pengetahuan tersebut. Kemudian tidak kalah pentingnya pembuatan tujuan-tujuan sementara yang dekat adalah merupakan suatu alternatif guna memberi arah kepada usaha mereka dalam belajar.
           Selain itu tidaklah berlebihan jika dijadikan suatu kesepakatan bahwa belajar merupakan prasyarat utama untuk meraih kehidupan masa datang lebih baik. Sebab tanpa belajar maka ilmu pengetahuan dan tekhnologi sulit diperoleh. Begitupula masa depan yang lebih baik tanpa IPTEK maka sulit untuk menjadi miliknya. Tidak heran kalau pakar pendidikan menilai behwa kegagalan dalam belajar berarti kegagalan dalam memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga berakibat kegagalan masa depan. Singkatnya sukses belajar berarti sukses masa depan.
           

Daftar Bacaan

Amirin Tatang M, 1996.Pokok-pokok Teori system. Jakarta :Rajawali pers.
Rukadjat Adjak dkk, 1973. Psikologi Pendidikan. Jakarta ;Depdikbud
Salim Peter, 1991. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer. Jakarta : Penerbit Moderen English press.
Sardiman, 2002.Interaksi dan motivasi belajar mengajar. Jakarta; PT.Raja GrafindoPersada
Suhartono Suparlan,2003. Filsafat ilmu Pengetahuan. UNM Makassar
Suryabrata Sumadi, 2002.Fsikologi Pendidikan.Jakarta ; PT.Raja Grafindo persada
Veisey John, 1982. Pendidikan di Dunia Modern. Jakarta ; Gunung Agung.       





Senin, 25 Februari 2013

TOLAK UKUR KUALITAS PENDIDIKAN DAN UPAYA PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN Zaenuddin Kabai (Guru SMAN 2 Bantaeng) 081342537529



TOLAK UKUR KUALITAS PENDIDIKAN DAN UPAYA PENINGKATAN
MUTU PENDIDIKAN
Zaenuddin Kabai
(Guru SMAN 2 Bantaeng)
081342537529
      
         Sampai saat ini Indonesia belum memiliki alat ukur kualitas luaran yang baku.Terbukti kompetisi tingkat internasional Indonesia berada dipapan bawah. Padahal sudah dilakukan berbagai cara, sayangnya masih sering terjadi kagiatan yang menodai kegiatan kearah kualitas dengan mengutamakan kuantitas ketimbang kualitas, akibatnya output kita tertinggal ketika bersaing dengan output dari Negara maju dalam rangka  merebut pasar kerja ditingkat atas. Padahal ukuran yang dicoba WHO mengenai tolak ukur indeks kegiatan hidup sehari-hari, indeks kemampuan kerja,dan kemampuan menghasilkan pendapatan(kemandirian), sampai saat ini ketiga tolak ukur ini dijadikan sebagai patokan maka kemungkinan kita diperhadapkan oleh biaya pengukuran, dan siapa yang akan mengukurnya dan bagaimana cara pengukurannya. Kalaupun pengukuran output dengan ujian akhir nasional bisa dikelola secara maksimal, meminimalisir kecurangan didalam ujian nasaional maka kemungkinan besar Indonesia akan terangkat statusnya lebih tinggi dari papan bawah menuju papan tengah dalam persaingan dengan output Negara maju.
       Peningkatan mutu pendidikan merupakan suatu pekerjaan yang multi kompleks.Oleh karena itu penulis hanya membatasi bahasan mengenai; tolak ukur mengenai kualitas manusia Indonesia, pendidikan kecakapan(life skills). Dengan tujuan ; (1) untuk mengkaji tolak ukur yang bagaimana seharusnya (2) untuk melakukan salah satu upaya untuk meningkatkan mutu melalui pendidikan kecakapan skill . Dengan harapan; (1) sebagai salah satu bahan banding dalam rangka menjejaki tolak ukur yang benar-benar sesuai dengan peningkatan kualitas mutu pendidikan (2) sebagai salah satu bahan  referensi bagi penulis berikutnya   
Tolak Ukur Kualitas Pendidikan
      Tolak ukur mengenai kualitas manusia Indonesia, Kartono Muhammad (Kompas, 20 April 1988) mengatakan bahwa apakah kualitas manusia Indonesia yang dicita-citakan tercapai atau belum, tentunya harus ada tolak ukurnya. Inilah seringkali kita mengalamikesulitan. Sebab diserahkan pada satu tim belum tentu tidak melahirkan kecurigaan. Selanjutnya Kartono mengusulkan 2 (dua) ukuran yakni ukuran kualitas bahan baku dan ukuran hasil (output).
Pertama, Mengukur kualitas bahan baku atau faktor masukan menjadi jaminan adanya hasil yang sebanding, unsur masukan tadi peling tidak sudah dapat dijadikan indikator tentang upaya yang telah dilaksanakan, baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat sendiri.
       Selain mengukur masukan dari luar, faktor masukan dari menusia itu sendiri perlu diperhitungkan. Artinya apakah menusia sebagai subyek yang diproses juga berkualitas tinggi. Alasannya adalah semaik bahan baku yang dimasukkan untuk diproses semakin baik pula hasilnya manakala diproses secara  professional. Olehnya itu manusia dipersiapkanm berkualitas sejak usia dini. Anak-anak Indonesia harus mempunyai kesehatan yang baik, fisik yang baik, dan prilaku social yang baik. Sehingga dengan pendidikan agama dan pendidikan umum yang bermutu baik pula, ia akan dapat diolah menjadi manusia yang sesuai dengan criteria UU Sisdiknas no. 20 Tahun 2003. Untuk mengukur kualitas kesehatan dan kualitas fisik tidak terlalu sukar. Bahkan dari pertumbuhan tinggi dan berat badan saja, gambaran tentang mutu kesehatan mereka sudah dapat dilihat. Bukan hanya kesehatan pada saat itu diukur saja, tetapi juga kesehatan sejak masih dalam kandungan sampai ke usia 7-10 tahun.
         Untuk mengukur kualitas prilaku sosial anak, agar ia dapat menjadi bahan baku bermutu, Dr Bentsen dari Norwegia dalam Muhammad (1988) mengusulkan penggunaan nilai hubungan social (family apgar), yang terdiri dari angka (skor), hubungan anak dengan saudara-saudaranya dan angka hubungan anak dengan teman-temannya.Bagi orang dewasa harus ditambahkan dengan hubungan orang dewasa dengan teman sekerjanya. Mengukur kualitas kesehatan saja dan prilaku sosial belum tentu merata dengan menggunakan tolak ukur tersebut.
Kedua, Mengukur Hasil (output) dengan bahan baku yang berkualitas  dengan pengelolaan yang baik pula diharapkan dapat tercapai hasil maksimal pula. Tetapi pengukuran apakah hasil yang dicapai baik dan sesuai tuntutan Sisdiknas no.20 th 2003. Tentunya bukan hal yang mudah terutama karena yang dihadapi adalah manusia yang hidup, tumbuh dan mempunyai otak untuk berpikir. Sekalipun tidak terlepas dari pengaruh eksternal dan internal.
                 Pengukuran output melalui ujian akhir nasional, adalah salah satunya cara dalam mengendalikan dan penjaminan mutu kualitas (quality control and assurance) pendidikan. Persoalannya adalah system pengujian pendidikan, sebab disadari atau tidak ada beberapa masalah yang ditinggalkan antara lain; Pertama, Ujian akhir nasional(UAN), ujian nasional (UN), Sangat bepariasi dari tahun-ketahun, terkadang tidak memberikan ruang gerak kepada sekolah dalam menentukan kelulusan siswanya,  seperti yang pernah terjadi pada UAN tahun 2004. Padahal yang melakukan proses pendidikan kepada siswa adalah sekolah dengan berbagai kemampuan dan potensi yang dimilikinya. Dengan mematok angka yang ditetapkan secara nasional (4,01). Padahal otonomo sekolah selama ini merupakan salah satu program nasional dalam kaitannya dengan otonomi daerah alias desentralisasi dibidang pendidikan. Tapi kenyataannya masih seperti yang berhak meluluskan seluruh Indonesia adalah Diknas pada saat itu. Kedua, Selain itu muncul lagi istilah konversi nilai UAN. Hal seperti ini sepertinya nilai UAN juga sama seperti main-mainan, dengan alas an mengenai titik temu perbedaan mutu antar daerah. Ketiga, UAN 2004 belum konsisiten terhadap tujuan prndidikan secara nasional, karena dalam prakteknya hanya menilai aspek kognitif dan hampir melupakan aspek lainnya. Pertanyaannya sekarang bagaimana seharusnya UAN. Mengingat kesenjangan antara pasilitas, SDM serta system pengujian kita masih belum tepat, maka merupakan satu hal yang sangat sulit untuk menentukannya. Andaikata kita sudah memiliki system pengujian yang baku atau sesuai dengan standar yang diharapkan, kesenjangan antara fasilitas dan SDM antar daerah diseluruh Indonesia tidak lagi terjadi, maka menentukankualitas mutu pendidikan tidak terlalu sulit.Tahun ajaran 2012-2013 untuk sekolah menengah umum diberi  standar kelulusan 5,5 dengan dasar perhitungan 40% x nilai sekolah (NS) +60% x UN = 5,5. NS = Rata-rata(R)  nilai semister 3,4dan 5 + nilai Ujian Sekolah (NS).
Upaya peningkatan mutu pendidikan
         Kendatipun demikian beberapa hal yang biasanya dilakukan dalam pengendalian dan penjaminan mutu pendidikan sebagai berikut: (1) Pemberdayaan sekolah ( satuan pendidikan) secara optimal, (2) Pengendalian dan penjaminan mutu pendidikan secara nasional, dapat dilakukan oleh pusat (baik oleh depardemen  atau lambaga independen) yang memiliki kualifikasi untuk melakukan pengujian, (3) Optimalisasi pemanfaatan lembaga penjamin mutu pendidikan(LPMP) terutama didaerah, (4) Peningkatan mutu pendidikan melalui pendidikan kecakapan (life skills).
         Pemberdayaan sekolah ( satuan pendidikan) secara optimal, barangkali kita sependapat bahwa ujian adalah berfungsi menentukan kelulusan siswa, dapat dilaksanakan oleh sekolah tetapi tetap mengacu pada standar kemampuan yang telah ditetapkan dalam standar nasional. Untuk menghindari insiden diskriminasi terhadap suatu provinsi tertentu, perlu digunakan satu standar kelulusan dengan peringkat tes yang dimiliki tingkat kesulitan yang sama untuk semua wilayah.Berikan kesempatan kepada masing-masing provinsi, sekolah untuk menentukan standar kelulusan yang lebih rendah atau lebih tinggi atas dsar keputusannya sendiri. Ujian sekolah juga berfungsi mengendalikan mutu pendidikan. Ini yang justru dirasakan semakin penting dalam era desentralisasi. Bahkan ada yang menilai bahwa ujian sekolah seperti ini menjadi sarana ampuh untuk menilai akademis yang dikembangkan oleh sekolah dengan standar yang ditetapkan pusat, penilaian lainnya sesuai dengan amanat pasal 3 Sisdiknas juga dapat dipotret dengan baik.            
         Pengendalian dan penjaminan mutu pendidikan secara nasional, dapat dilakukan oleh pusat (baik oleh depardemen  atau lambaga independen) yang memiliki kualifikasi untuk melakukan pengujian,Dalam pasal 58 Sisdiknas jelas disebutkan bahwa evaluasi belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan, sedangkan evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan, dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan dan sistimatik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan. Merujuk pada tersebut, pemerintah bisa mengembangkan model ujian secara nasional yang benar-benar mampu memotret mutu pendidikan secar5a nasional dalam rentang waktu dan metode tertentu. Jika ujian yang dilakukan secara nasional tidak untuk menentukan kelulusan siswa namun untuk memotret/memetakan mutu pendidikan secara nasional dan dapat dilakukan kapan saja atau uji sampling. Dengan demikian akan mendapatkan potret mutu pendidikan dengan sebenarnya, dan bukan hanya sandiwara belaka, karena tidak dibayang-bayangi dengan ancaman ketidak lulusan dan biaya yang harus dikeluarkan jika banyak siswa yang mengulang. Karena memang bukan untuk meluluskan atau menidakluluskan siswa, akan tetapi dalam kerangka pengendalian dan penjaminan mutu pendidikan secara nasional. Kendatipun bukan berarti bahwa dengan cara tersebut tidak memiliki kekurangan akan tetapi tidak seperti cara sebelumnya.       
          Optimalisasi pemanfaatan lembaga penjamin mutu pendidikan(LPMP) terutama didaerah, dalam era persaingan semakin tajam, tidak ada satupun yang mampu mengelak kecuali terlibat didalamnya. Baik itu secara indifidu, secara kelompok ataupun melalui kelembagaan. Disemua aspek kehidupan baik politik, ekonomi,social budaya. Tentunya sangat berbeda dari era sebelumnya. Pendidikan sebagai salah satu pilar utama untuk memberikan kemampuan atau kecakapan atau kekuatan untuk memenangkan persaingan tersebut melalui pembentukan paradigm baru berupa sistem pendidikan yang dipakai tiap daerah sesuai dengan kebutuhan daerah itu sendiri.
           Dalam konsep otonomi daerah, kewenangan pusat dilimpahkan kedaerah, salah satunya adalah penataan dibidang pendidikan. Akan hal ini dilaksanakan oleh daerah secara maksimal. Sejak tahun 1998. Otonomi daerah telah berlangsung padahal kalau kita menengok kebelakang era tahun 70-an dan 80-an untuk asia tenggara, Indonesia masih menduduki peringkat atas dari segi indeks pembangunan manusia (IPM) samapai sekarang Indonesia peringkat atas tinggal kenangan belaka. Disinyalir penyebab rendahnya mutu pendidikan adalah lemahnya manajerial, dana yang kurang memadai, KKN yang merajalela, disiplin dan etos kerja sangat rendah, rekruitmen pegawai yang kurang obyektif, masih rendahnya dan tidak meratanya kualitas guru yang ada saat ini, kesempatan guru sangat kurang untuk mengembangkan profesi melalui penataran oleh LPMP, terutama pada guru-guru yang bertugas didaerah terpencil.
           Oloeh karena itu ada beberapa hal yang perlu dibenahi dalam LPMP agar memenuhi tugasnya dalam merealisasikan kesetraan pendidikan nasional disetiap daerah dalam rangka menindak lanjuti kurikulum  tahun 2013 seperti yang diharapkan pemerintah : (1) pengendalian manajemen (2) Struktur organisasi (3) sumber daya manusia (4) Dana , (5) sarana dan prasarana (6) kelengkapan data (7) pengawasan.
          Peningkatan mutu pendidikan melalui pendidikan kecakapan (life skills). Dengan kesadaran semua pihak bahwa salah satu penyebab terdepaknya luaran pendidikan di era persaingan diseluruh aspek kehidupan dipanggung internasional adalah karena tidak adanya kecakapan hidup yang dimiliki oleh setiap luaran pendidikan kita. Hal ini ditandai oleh banyaknya alumni SLTA dan perguruan tinggi tidak mampu memposisikan diri dilapangan pekerjaan atau menganggur. Apatah lagi ketika dituntut untuk mendirikan lapangan kerja guna menampung teman-temannya atau sesama pencari kerja. Padahal kemampuan akademinya cukup memadai, tapi toh tidak mampu bersaing dilapangan  pekerjaan. Andaikata mereka memiliki kecakapan hidup maka mereka mau dan berani menghadapi problema hidup dan kehidupan secara wajar, tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusi sehingga akhirnya mampu mengatasi semua permasalahan yang dihadapi.
Kesimpulan dan saran  
          Ketika kita menyadari bahwa ternyata memang betul bahwa mutu pendidikan kita masih sangat rendah jika disbanding dengan Negara – Negara lainnya, maka sudah sewajarnyalah Negara ini betul-betul memberdayakan seluruh potensi sumber daya guna peningkatan mutu pendidikan, kalau kita ingin memburu ketertinggalan kita di era persaingan ini. Selain itu pemantapan tolak ukur baik dari segi input maupun output merupakan suatu kemutlakan. Begitupula optimalisasi pemanfaatan LPMP dan peningkatan mutu pendidikan  melalui peningkatan kecakapan hidup dalam rangka memburu keteringgalan kita dimata persaingan internasional. Sebab ketertinggalan tidak mungkin dapat dijawab tanpa melalui upaya peningkatan kualitas pendidikan. Sementara kualitas pendidikan sangat ditentukan oleh kompetensi guru.
          Oleh karena itu jika membutuhkan kualitas pendidikan maka perbaikilah kualitas gurunya. Karena kualitas output sangat ditentukan oleh kualitas proses. Sedangkan dalam proses terdapat dua komponen utama dan komponen penunjang lainnya. Komponen utama dalam proses adalah guru dan siswa, dan komponen lainnya adalah sarana dan prasarana serta dukungan dari berbagai pihak baik moril maupun materil.      
Daftar pustaka   

Bafaddal Ibrahim, 2003  Manajemen perlengkapan sekolah teori dan aplikasinya,                   Jakarta:PT. Bumi Aksara.

-------------------------, 2003   Manajemen peningkatan mutu sekolah dasar dari sentralisasi menuju desentralisasi. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Imron Ali, 2002.Kebijaksanaan pendidikan diIndonesia, Jakarta; PT.Bumi Aksara . 
Undang-undang dasar 1945. Hasil Amandemen 
UU. Nomor 2 tahun  1989. Tentang Sisdiknas
UU. Nomor 20 tahun 2003.Tentang Sisdiknas
Harian Kompas .20 april 1988.
Majalah Forwas  16/ XII/2003 dan 17/XII/2004       

Direktorat pendidikan Menengah Umum, 2001. Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah.Jakarta: Depdiknas
Mohman Albers Susanj, 1994. School based management, organizing for hight performance. San Francisco
Nata Abuddin, 2003         Manajemen pendidikan (mengatasi kelemahan pendidikan Islam di Indonesia). Jakarta timur: Prenada Media.
Stephen.P. Robbins, 1999. Manajemen(Mnagement, Sixth Edition). Jakarta: PT. Prenhallindo
Syafri,  2003.             Manajemen sumber daya manusia Strategik. Jakarta          selatan:Ghalia Indonesia
Thoha Miftah , 2001.   Kepemimpinan dalam manajemen suatu pendekatan prilaku.Jakarta : PT.Rajagrafindo Persada.