Senin, 25 Februari 2013

TOLAK UKUR KUALITAS PENDIDIKAN DAN UPAYA PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN Zaenuddin Kabai (Guru SMAN 2 Bantaeng) 081342537529



TOLAK UKUR KUALITAS PENDIDIKAN DAN UPAYA PENINGKATAN
MUTU PENDIDIKAN
Zaenuddin Kabai
(Guru SMAN 2 Bantaeng)
081342537529
      
         Sampai saat ini Indonesia belum memiliki alat ukur kualitas luaran yang baku.Terbukti kompetisi tingkat internasional Indonesia berada dipapan bawah. Padahal sudah dilakukan berbagai cara, sayangnya masih sering terjadi kagiatan yang menodai kegiatan kearah kualitas dengan mengutamakan kuantitas ketimbang kualitas, akibatnya output kita tertinggal ketika bersaing dengan output dari Negara maju dalam rangka  merebut pasar kerja ditingkat atas. Padahal ukuran yang dicoba WHO mengenai tolak ukur indeks kegiatan hidup sehari-hari, indeks kemampuan kerja,dan kemampuan menghasilkan pendapatan(kemandirian), sampai saat ini ketiga tolak ukur ini dijadikan sebagai patokan maka kemungkinan kita diperhadapkan oleh biaya pengukuran, dan siapa yang akan mengukurnya dan bagaimana cara pengukurannya. Kalaupun pengukuran output dengan ujian akhir nasional bisa dikelola secara maksimal, meminimalisir kecurangan didalam ujian nasaional maka kemungkinan besar Indonesia akan terangkat statusnya lebih tinggi dari papan bawah menuju papan tengah dalam persaingan dengan output Negara maju.
       Peningkatan mutu pendidikan merupakan suatu pekerjaan yang multi kompleks.Oleh karena itu penulis hanya membatasi bahasan mengenai; tolak ukur mengenai kualitas manusia Indonesia, pendidikan kecakapan(life skills). Dengan tujuan ; (1) untuk mengkaji tolak ukur yang bagaimana seharusnya (2) untuk melakukan salah satu upaya untuk meningkatkan mutu melalui pendidikan kecakapan skill . Dengan harapan; (1) sebagai salah satu bahan banding dalam rangka menjejaki tolak ukur yang benar-benar sesuai dengan peningkatan kualitas mutu pendidikan (2) sebagai salah satu bahan  referensi bagi penulis berikutnya   
Tolak Ukur Kualitas Pendidikan
      Tolak ukur mengenai kualitas manusia Indonesia, Kartono Muhammad (Kompas, 20 April 1988) mengatakan bahwa apakah kualitas manusia Indonesia yang dicita-citakan tercapai atau belum, tentunya harus ada tolak ukurnya. Inilah seringkali kita mengalamikesulitan. Sebab diserahkan pada satu tim belum tentu tidak melahirkan kecurigaan. Selanjutnya Kartono mengusulkan 2 (dua) ukuran yakni ukuran kualitas bahan baku dan ukuran hasil (output).
Pertama, Mengukur kualitas bahan baku atau faktor masukan menjadi jaminan adanya hasil yang sebanding, unsur masukan tadi peling tidak sudah dapat dijadikan indikator tentang upaya yang telah dilaksanakan, baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat sendiri.
       Selain mengukur masukan dari luar, faktor masukan dari menusia itu sendiri perlu diperhitungkan. Artinya apakah menusia sebagai subyek yang diproses juga berkualitas tinggi. Alasannya adalah semaik bahan baku yang dimasukkan untuk diproses semakin baik pula hasilnya manakala diproses secara  professional. Olehnya itu manusia dipersiapkanm berkualitas sejak usia dini. Anak-anak Indonesia harus mempunyai kesehatan yang baik, fisik yang baik, dan prilaku social yang baik. Sehingga dengan pendidikan agama dan pendidikan umum yang bermutu baik pula, ia akan dapat diolah menjadi manusia yang sesuai dengan criteria UU Sisdiknas no. 20 Tahun 2003. Untuk mengukur kualitas kesehatan dan kualitas fisik tidak terlalu sukar. Bahkan dari pertumbuhan tinggi dan berat badan saja, gambaran tentang mutu kesehatan mereka sudah dapat dilihat. Bukan hanya kesehatan pada saat itu diukur saja, tetapi juga kesehatan sejak masih dalam kandungan sampai ke usia 7-10 tahun.
         Untuk mengukur kualitas prilaku sosial anak, agar ia dapat menjadi bahan baku bermutu, Dr Bentsen dari Norwegia dalam Muhammad (1988) mengusulkan penggunaan nilai hubungan social (family apgar), yang terdiri dari angka (skor), hubungan anak dengan saudara-saudaranya dan angka hubungan anak dengan teman-temannya.Bagi orang dewasa harus ditambahkan dengan hubungan orang dewasa dengan teman sekerjanya. Mengukur kualitas kesehatan saja dan prilaku sosial belum tentu merata dengan menggunakan tolak ukur tersebut.
Kedua, Mengukur Hasil (output) dengan bahan baku yang berkualitas  dengan pengelolaan yang baik pula diharapkan dapat tercapai hasil maksimal pula. Tetapi pengukuran apakah hasil yang dicapai baik dan sesuai tuntutan Sisdiknas no.20 th 2003. Tentunya bukan hal yang mudah terutama karena yang dihadapi adalah manusia yang hidup, tumbuh dan mempunyai otak untuk berpikir. Sekalipun tidak terlepas dari pengaruh eksternal dan internal.
                 Pengukuran output melalui ujian akhir nasional, adalah salah satunya cara dalam mengendalikan dan penjaminan mutu kualitas (quality control and assurance) pendidikan. Persoalannya adalah system pengujian pendidikan, sebab disadari atau tidak ada beberapa masalah yang ditinggalkan antara lain; Pertama, Ujian akhir nasional(UAN), ujian nasional (UN), Sangat bepariasi dari tahun-ketahun, terkadang tidak memberikan ruang gerak kepada sekolah dalam menentukan kelulusan siswanya,  seperti yang pernah terjadi pada UAN tahun 2004. Padahal yang melakukan proses pendidikan kepada siswa adalah sekolah dengan berbagai kemampuan dan potensi yang dimilikinya. Dengan mematok angka yang ditetapkan secara nasional (4,01). Padahal otonomo sekolah selama ini merupakan salah satu program nasional dalam kaitannya dengan otonomi daerah alias desentralisasi dibidang pendidikan. Tapi kenyataannya masih seperti yang berhak meluluskan seluruh Indonesia adalah Diknas pada saat itu. Kedua, Selain itu muncul lagi istilah konversi nilai UAN. Hal seperti ini sepertinya nilai UAN juga sama seperti main-mainan, dengan alas an mengenai titik temu perbedaan mutu antar daerah. Ketiga, UAN 2004 belum konsisiten terhadap tujuan prndidikan secara nasional, karena dalam prakteknya hanya menilai aspek kognitif dan hampir melupakan aspek lainnya. Pertanyaannya sekarang bagaimana seharusnya UAN. Mengingat kesenjangan antara pasilitas, SDM serta system pengujian kita masih belum tepat, maka merupakan satu hal yang sangat sulit untuk menentukannya. Andaikata kita sudah memiliki system pengujian yang baku atau sesuai dengan standar yang diharapkan, kesenjangan antara fasilitas dan SDM antar daerah diseluruh Indonesia tidak lagi terjadi, maka menentukankualitas mutu pendidikan tidak terlalu sulit.Tahun ajaran 2012-2013 untuk sekolah menengah umum diberi  standar kelulusan 5,5 dengan dasar perhitungan 40% x nilai sekolah (NS) +60% x UN = 5,5. NS = Rata-rata(R)  nilai semister 3,4dan 5 + nilai Ujian Sekolah (NS).
Upaya peningkatan mutu pendidikan
         Kendatipun demikian beberapa hal yang biasanya dilakukan dalam pengendalian dan penjaminan mutu pendidikan sebagai berikut: (1) Pemberdayaan sekolah ( satuan pendidikan) secara optimal, (2) Pengendalian dan penjaminan mutu pendidikan secara nasional, dapat dilakukan oleh pusat (baik oleh depardemen  atau lambaga independen) yang memiliki kualifikasi untuk melakukan pengujian, (3) Optimalisasi pemanfaatan lembaga penjamin mutu pendidikan(LPMP) terutama didaerah, (4) Peningkatan mutu pendidikan melalui pendidikan kecakapan (life skills).
         Pemberdayaan sekolah ( satuan pendidikan) secara optimal, barangkali kita sependapat bahwa ujian adalah berfungsi menentukan kelulusan siswa, dapat dilaksanakan oleh sekolah tetapi tetap mengacu pada standar kemampuan yang telah ditetapkan dalam standar nasional. Untuk menghindari insiden diskriminasi terhadap suatu provinsi tertentu, perlu digunakan satu standar kelulusan dengan peringkat tes yang dimiliki tingkat kesulitan yang sama untuk semua wilayah.Berikan kesempatan kepada masing-masing provinsi, sekolah untuk menentukan standar kelulusan yang lebih rendah atau lebih tinggi atas dsar keputusannya sendiri. Ujian sekolah juga berfungsi mengendalikan mutu pendidikan. Ini yang justru dirasakan semakin penting dalam era desentralisasi. Bahkan ada yang menilai bahwa ujian sekolah seperti ini menjadi sarana ampuh untuk menilai akademis yang dikembangkan oleh sekolah dengan standar yang ditetapkan pusat, penilaian lainnya sesuai dengan amanat pasal 3 Sisdiknas juga dapat dipotret dengan baik.            
         Pengendalian dan penjaminan mutu pendidikan secara nasional, dapat dilakukan oleh pusat (baik oleh depardemen  atau lambaga independen) yang memiliki kualifikasi untuk melakukan pengujian,Dalam pasal 58 Sisdiknas jelas disebutkan bahwa evaluasi belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan, sedangkan evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan, dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan dan sistimatik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan. Merujuk pada tersebut, pemerintah bisa mengembangkan model ujian secara nasional yang benar-benar mampu memotret mutu pendidikan secar5a nasional dalam rentang waktu dan metode tertentu. Jika ujian yang dilakukan secara nasional tidak untuk menentukan kelulusan siswa namun untuk memotret/memetakan mutu pendidikan secara nasional dan dapat dilakukan kapan saja atau uji sampling. Dengan demikian akan mendapatkan potret mutu pendidikan dengan sebenarnya, dan bukan hanya sandiwara belaka, karena tidak dibayang-bayangi dengan ancaman ketidak lulusan dan biaya yang harus dikeluarkan jika banyak siswa yang mengulang. Karena memang bukan untuk meluluskan atau menidakluluskan siswa, akan tetapi dalam kerangka pengendalian dan penjaminan mutu pendidikan secara nasional. Kendatipun bukan berarti bahwa dengan cara tersebut tidak memiliki kekurangan akan tetapi tidak seperti cara sebelumnya.       
          Optimalisasi pemanfaatan lembaga penjamin mutu pendidikan(LPMP) terutama didaerah, dalam era persaingan semakin tajam, tidak ada satupun yang mampu mengelak kecuali terlibat didalamnya. Baik itu secara indifidu, secara kelompok ataupun melalui kelembagaan. Disemua aspek kehidupan baik politik, ekonomi,social budaya. Tentunya sangat berbeda dari era sebelumnya. Pendidikan sebagai salah satu pilar utama untuk memberikan kemampuan atau kecakapan atau kekuatan untuk memenangkan persaingan tersebut melalui pembentukan paradigm baru berupa sistem pendidikan yang dipakai tiap daerah sesuai dengan kebutuhan daerah itu sendiri.
           Dalam konsep otonomi daerah, kewenangan pusat dilimpahkan kedaerah, salah satunya adalah penataan dibidang pendidikan. Akan hal ini dilaksanakan oleh daerah secara maksimal. Sejak tahun 1998. Otonomi daerah telah berlangsung padahal kalau kita menengok kebelakang era tahun 70-an dan 80-an untuk asia tenggara, Indonesia masih menduduki peringkat atas dari segi indeks pembangunan manusia (IPM) samapai sekarang Indonesia peringkat atas tinggal kenangan belaka. Disinyalir penyebab rendahnya mutu pendidikan adalah lemahnya manajerial, dana yang kurang memadai, KKN yang merajalela, disiplin dan etos kerja sangat rendah, rekruitmen pegawai yang kurang obyektif, masih rendahnya dan tidak meratanya kualitas guru yang ada saat ini, kesempatan guru sangat kurang untuk mengembangkan profesi melalui penataran oleh LPMP, terutama pada guru-guru yang bertugas didaerah terpencil.
           Oloeh karena itu ada beberapa hal yang perlu dibenahi dalam LPMP agar memenuhi tugasnya dalam merealisasikan kesetraan pendidikan nasional disetiap daerah dalam rangka menindak lanjuti kurikulum  tahun 2013 seperti yang diharapkan pemerintah : (1) pengendalian manajemen (2) Struktur organisasi (3) sumber daya manusia (4) Dana , (5) sarana dan prasarana (6) kelengkapan data (7) pengawasan.
          Peningkatan mutu pendidikan melalui pendidikan kecakapan (life skills). Dengan kesadaran semua pihak bahwa salah satu penyebab terdepaknya luaran pendidikan di era persaingan diseluruh aspek kehidupan dipanggung internasional adalah karena tidak adanya kecakapan hidup yang dimiliki oleh setiap luaran pendidikan kita. Hal ini ditandai oleh banyaknya alumni SLTA dan perguruan tinggi tidak mampu memposisikan diri dilapangan pekerjaan atau menganggur. Apatah lagi ketika dituntut untuk mendirikan lapangan kerja guna menampung teman-temannya atau sesama pencari kerja. Padahal kemampuan akademinya cukup memadai, tapi toh tidak mampu bersaing dilapangan  pekerjaan. Andaikata mereka memiliki kecakapan hidup maka mereka mau dan berani menghadapi problema hidup dan kehidupan secara wajar, tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusi sehingga akhirnya mampu mengatasi semua permasalahan yang dihadapi.
Kesimpulan dan saran  
          Ketika kita menyadari bahwa ternyata memang betul bahwa mutu pendidikan kita masih sangat rendah jika disbanding dengan Negara – Negara lainnya, maka sudah sewajarnyalah Negara ini betul-betul memberdayakan seluruh potensi sumber daya guna peningkatan mutu pendidikan, kalau kita ingin memburu ketertinggalan kita di era persaingan ini. Selain itu pemantapan tolak ukur baik dari segi input maupun output merupakan suatu kemutlakan. Begitupula optimalisasi pemanfaatan LPMP dan peningkatan mutu pendidikan  melalui peningkatan kecakapan hidup dalam rangka memburu keteringgalan kita dimata persaingan internasional. Sebab ketertinggalan tidak mungkin dapat dijawab tanpa melalui upaya peningkatan kualitas pendidikan. Sementara kualitas pendidikan sangat ditentukan oleh kompetensi guru.
          Oleh karena itu jika membutuhkan kualitas pendidikan maka perbaikilah kualitas gurunya. Karena kualitas output sangat ditentukan oleh kualitas proses. Sedangkan dalam proses terdapat dua komponen utama dan komponen penunjang lainnya. Komponen utama dalam proses adalah guru dan siswa, dan komponen lainnya adalah sarana dan prasarana serta dukungan dari berbagai pihak baik moril maupun materil.      
Daftar pustaka   

Bafaddal Ibrahim, 2003  Manajemen perlengkapan sekolah teori dan aplikasinya,                   Jakarta:PT. Bumi Aksara.

-------------------------, 2003   Manajemen peningkatan mutu sekolah dasar dari sentralisasi menuju desentralisasi. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Imron Ali, 2002.Kebijaksanaan pendidikan diIndonesia, Jakarta; PT.Bumi Aksara . 
Undang-undang dasar 1945. Hasil Amandemen 
UU. Nomor 2 tahun  1989. Tentang Sisdiknas
UU. Nomor 20 tahun 2003.Tentang Sisdiknas
Harian Kompas .20 april 1988.
Majalah Forwas  16/ XII/2003 dan 17/XII/2004       

Direktorat pendidikan Menengah Umum, 2001. Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah.Jakarta: Depdiknas
Mohman Albers Susanj, 1994. School based management, organizing for hight performance. San Francisco
Nata Abuddin, 2003         Manajemen pendidikan (mengatasi kelemahan pendidikan Islam di Indonesia). Jakarta timur: Prenada Media.
Stephen.P. Robbins, 1999. Manajemen(Mnagement, Sixth Edition). Jakarta: PT. Prenhallindo
Syafri,  2003.             Manajemen sumber daya manusia Strategik. Jakarta          selatan:Ghalia Indonesia
Thoha Miftah , 2001.   Kepemimpinan dalam manajemen suatu pendekatan prilaku.Jakarta : PT.Rajagrafindo Persada.

  

TOLAK UKUR KUALITAS PENDIDIKAN DAN UPAYA PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN Zaenuddin Kabai (Guru SMAN 2 Bantaeng) 081342537529

Selasa, 19 Februari 2013

MUTU PENDIDIKAN ANTARA HARAPAN KEPERIHATINAN




UPAYA PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN MELALUI SEKOLAH UNGGULAN, KELAS UNGGULAN DAN MANAJEMEN KELAS SUATU TINJAUAN

Zaenuddin Kabai
(Guru SMAN 02 Bantaeng)

PENDAHULUAN

         Sejak awal kemerdekaan RI telah dicanangkan sebuah komitmen mengenai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebab bangsa yang besar tidak mungkin hanya dengan modal kemerdekaan. Tapi dibutuhkan kecerdasan, ketahanan,    ketabahan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Bagi setiap penghuni negeri ini. Sampai sekarang peningkatan kualitas manusia Indonesia masih menjadi bahan polemik disetiap pertemuan, baik pertemuan formal maupun pertemuan nonformal.
        Ada dua persi penilaian terhadap kual;itas manusia Indonesia disatu sisi menilai bahwa kualitas manusia Indonesia masih rendah, dilain sisi dinilai bahwa bukan berarti rendah, hanya saja peningkatan kualitas terlalu lamban sehingga tidak atau kurang mampu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini telah menjadi berita rutin setiap terbitan laporan human development indeks. Posisi kualitas sumber daya manusia Indonesia selalu berada dibawah Negara-negara Asia lainnya.
         Mensinyalir keondisi seperti ini, maka para ilmuan dan pemerhati peningkatan SDM. Menilai bahwa salah satu penyebab dan sekaligus kunci utama rendahnya kualitas manusia Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan, kualitas sosial ekonomi, kualitas gizi kesehatan. Berbagai upaya dilakukan guna meningkatkan kualitas pendidikan, kendatipun sampai saat ini keresahan mengenai mutu pendidikan kita masih seperti 25 tahun yang lalu. Kini upaya peningkatan apalagi yang harus ditempuh oleh pemerintah untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang kompetitif. Ialah melalui sekolah unggulan, kelas unggulan dan manajemen kelas.
          Berdasar dari latar belakang tersebut, barangkali tidak berlebihan jika  yang menjadi masalahan sekarang adalah (1) Bagaimana sekolah unggulan itu, (2) Apa itu kelas unggulan dan pembelajaran unggulan, (3) Bagaimana manajemen kelas. Dengan demikian maka penanggung jawab sekolah bersama seluruh guru dan staf tata usah dapat mengetahui sekaligus memahami bagaimana seharusnya mengelola sekolah agar tuntutan kualitas pembelajaran dapat tercapai secara maksimal. Adapunh tujuan yang ingin dicapai dalam tulisan ini tiada lain untuk memberikan gambaran mengenai sekolah unggulan, kelas unggulan, dan manajemen kelas. Selain itu sebagai bahan referens bagi penulis berikutnya.

Sekolah Unggulan Sebagai Upaya Peningkatan Mutu Pendidikan

     Upaya mengatasi ketertinggalan kualitas Indonesia jika dibandingkan dengan Negara-negara asia lainnya melalui sekolah unggulan misalnya sekolah andalan SMAN Tinggi Moncong di Malino Kab.Gowa, SMAN 17 Makassar dan banyak lagi yang lainnya.
       Salah satu alternatif ditempuh pemerintah yang dianggap paling efektif untuk meningkatkan kualitas pendidikan sekaligus kualitas SDM.Sekolah unggulan diharapkan melahirkan manusia-manusia yang unggul sekaligus amat berguna bagi bangsa dan Negara. Tidak ada satupun yang menyangkal bahwa unggul itu dalah merupakan dambaan setiap insan.Hal ini dapat dibuktikan animo masyarakat untuk mendaftarkan anaknya kesekolah unggulan. Setiap tahun ajaran baru sekolah unggulan senantiasa menjadi pusat perhatian calon siswa baru.Ini disebabkan oleh keyakinan bahwa mereka setelah tamat disekolah tersebut akan menjadi unggul. Pertanyaannya apakah hanya dengan sekolah unggulan kita mampu melahirkan manusia-manusia unggul.
      Sebutan sekolah unggul sebenarnya kurang tepat.Kata unggul menyirat adanya superprioritas dibandingkan sekolah lain. Kata ini pula memang menunjukkan adanya penilaian sebuah kesombongan intelektual yang sengaja ditanamkan dilingkungan sekolah. Dinegra-negara maju, untuk menunjukkan sekolah yang bermutu tidak menggunakan kata unggul (excellent) melainkan efektive develop accelerate,dan eccellentral (Susanj Albers Mohman, at, al, school based management, organizing for hight performance, san Francisco, 1994, h,81).
       Disisi ukuran muatan keunggulan, sekolah unggulan di Indonesia juga tidak memenuhi syarat sekolah unggulan di Indonesia hanya mengukur sebagian kemampuan akademis. Dalam konsep sesungguhnya, sekolah unggulan adalah sekolah yang terus-menerus meningkatkan kinerjanya dan menggunakan sumber daya yang dimilikinya secara optimal untuk menumbuh kembangkan prestasi siswa secara menyeluruh. Berarti bukan saja prestasi akademis yang ditumbuh kembangkan melainkan potensi psikis, fisik, etik, religi, emosi, spirite, adversity, dan intelegensi.
        Andaikan sekolah unggulan dibangun secara bersama-sama oleh seluruh warga sekolah, bukan hanya oleh pemegang otoritas pendidikan. Konsep sekolah unggulan saat ini diterapkan, untuk menciptakan prestasi siswa yang lebih tinggi. Maka harus diukung oleh : (1) kurikulum yang baik, (2) guru-guru berkualitas, (3) pemanfaatan sumber daya sekolah secara optimal, (4) Administrasi yang baik, (5) iklim sekolah yang kondusip. Kalau tidak demikian maka barangkali tidak ada salahnya kalau penulis mengatakan bahwa program sekolah unggulan di Indonesia secara paedagogis menyesatkan dan akan merugikan pendidikan kita dalam jangka panjang.Sekalipun demikian tentunya tidak boleh diingkari bahwa pasti ada kebaikannya: (1) persaingan secara seehat antara siswa tercipta, (2) potensi kreativitas dan inovasi siswa lebih cepat, (3) memungkinkan adanya kelas akselerasi. Begitupula kelemahan senantiasa meliputi perjalanan sekolah unggulan yakni: (1) butuh legitimasi dari pemerintah dan cenderung biayanya besar, (2) hanya kalangan orang-orang kaya mendapat kesempatan sementara orang-orang miskin tidak mendapatkan kesempatan untuk belajar karena biayanya cenderung mahal, (3) memungkinkan lahirnya kesombongan intelektual dikalangan siswa, (4) mengingkari pemerataan pelayanan pendidikan.

Kelas Unggulan dan Pembelajaran Unggulan Sebagai Upaya Peningkatan Mutu Pendidikan

         Kelas unggulan diciptakan dengan cara mengelompokkan siswa menurut kemampuan akademik atau IQ rata-rata normal keatas sebagai alat untuk memotivasi peserta didik, agar tercipta persaingan yang sehat diantara mereka. Hal ini dapat dilakukan bagi sekolah-sekolah yang pada umumnya memiliki keragaman dan pariatif peserta didik. Pengembangan kelas unggulan secara teknis juga menuntut adanya tenaga professional yang memadai sebagai guru khusus kelas unggulan untuk mengajar mata pelajaran matematika, IPA, Bhs.Inggeris, BP dan Penjas. Selain itu waktu belajar disediakan lebih banyak, sebab pada kelas unggulan disediakan jam tambahan.
         Adapun kelebihan kelas unggulan menurut Dirjen Dikdasmen Nomor : 0302/CS/1996, dalam (Dikmenum, 2001) sebagai berikut ; (1) mempersiapkan siswa yang cerdas, berimtaq, berakhlaq mulia, memiliki IPTEK serta sehat jasmani dan rohani, (2) memberikan kesempatan kepada siswa yang cerdas diatas rata-rata normal guna mendapatkan pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan potensinya, (3) memberikan kesempatan kepada siswa agar lebih cepat mentransfer IPTEK yang sesuai dengan perkembangan pembangunan, (4) memberikan penghargaan kepada siswa yang berprestasi baik, dan sangat baik, (5) mempersiapkan lulusan kelas unggulan menjadi siswa unggulan dalam bidang pengetahuan dan teknologi sesuai dengan perkembangan mental anak. Begitupula kelemahan dari kelas unggulan; (1) anak yang kemampuannya biasa-biasa saja terkadang terabaikan, akibatnya akan muncul rasa rendah diri dalam pergaulan dengan teman-temannya yang ada dikelas unggulan, (2) ada kecenderungan kelas unggulan mendapat prioritas sehingga kelas lainnya kurang mendapat prioritas akibatnya dapat melahirkan kecemburuan sosial dikalangan siswa itu sendiri. (3) mengundang timbulnya perpecahan antar kelas yang cenderung terjadinya permusuhan antara warga belajar sendiri. (4) dapat melahirkan persepsi negative terhadap pelayanan pendidikan yang berujung pada motivasi belajar semakin menurun, (5) adanya kemungkinan siswa mengalami stress  ketika prestasi belajarnya menurun karena sesuatu hal, dan tergeser dari  kelas unggulan.
           Pembelajaran unggulan(the excellent teaching process), PBM yang dikembangkan dalam rangka membelajarkan semua siswa berdasarkan perbedaan tingkat keunggulannya(individual differencess) untuk menjadikannya beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, menguasai IPTEK secara mandiri namun tetap dalam kebersamaan, mampu menghasilkan karya yang terbaik dalam menghadapi persaingan bebas dunia.
           Menurut Ibrahim Bafaddal (2003) pembelajaran unggulan dirancang bukan hanya siswa yang unggul, akan tetapi secara metodologi maupun psikologis dapat membuat semua siswa mengalami belajar secara maksimal dengan memperhatikan kapasitasnya masing-masing. Selanjutnya mengatakan ada tiga indikator pembelajaran unggulan: (1) pembelajaran dikatakan unggulan apabila dapat melayani semua siswa(bukan hanya sebagian siswa), (2) pembelajaran unggulan semua anak mendapatkan pengalaman belajar semaksimal mungkin. (3) walaupun semua siswa mendapatkan pengalaman belajar maksimal prosesnya sangat bervariasi bergantung pada tingkat kemampuan anak yang bersangkutan.
          Menyimak uraian mengenai pembelajaran unggulan tersebut, barangkali ada benarnya jika penulis menilai bahwa kebaikan pembelajaran terdiri dari ;  (1) Ada upaya pemerataan pelayanan dikalangan pebelajar, (2) Dapat menghilangkan kecemburuan antar kelas,(3) Mencegah munculnya pebelajar yang stress karena prestasi menurun,(4) Menutup kemungkinan timbulnya konflik antar kelas. Begitupula kelemahan pembelajaran unggulan ; (1) Membutuhkan berbagai metode penyelolaan pembelajaran yang bervariasi, (2) Tidak menutup kemungkinan siswa berpotensi maksimal ikut-ikutan malas belajar, (3) Kecil kemungkinan adanya persaingan sehingga cenderung peningkatan hasil belajar mengalami hambatan.     

Manajemen Kelas Sebagai Salah Satu Strategi Peningkatan mutu pendidikan

         Proses belajar tanpa  suatu langkah pengaturan kelas sama halnya memproses sebuah kegagalan.Oleh karena itu dikatakan bahwa manajemen kelas, suatu langkah pengaturan kelas dalam rangka kelancaran proses belajar mengajar.Selain itu dapat juga dikatakan, suatu langkah dalam menata kelas agar tercipta suasana proses belajar mengajar yang efisien dan efektif.
         Menurut Bafaddal (2003), manajemen kelas terdiri dari tiga langkah:
Pertama, Kelas tetap, yaitu siswa dan guru sepanjang waktu dikelas hanya siswa yang tetap didsuatu kelas tertentu. Ada juga mengatakan bahwa merupakan satu bentuk pengelolaan kelas yang merupakan seperangkat kegiatan guru untuk menciptakan dan mempertahankan ketertiban suasana kelas.Keuntungannya, guru dengan mudah mengontrol tingkah laku siswa terutama menyangkut tentang disiplin dan ketertiban kelas.Disamping itu ada juga kelemahan pengelolaan pembelajaran ini dapat mengundang sifat otoritas guru yang berlebihan sehingga situasi pembelajaran terasa kaku, siswa tidak mempunyai kebebasan dalam bergerak sehingga melahirkan kejenuhan dikalangan pebelajar.
Kedua, Kelas berjalan(mofing kelas).Salah satu bentuk pengelolaan kelas yang ditinjau dari konsep modern yakni seleksi dan penggunaan alat-alat yang telah dipersiapkan pada setiap ruangan tertentu atau sesuai dengan mata pelajaran yang sesuai dengan kurikulum. Dengan demikian sekolah diharuskan menyiapkan ruangan sebanyak bidang studi yang berlaku pada jenjang pendidikan tersebut, misalnya SMA sebanyak 13 bidang studi pada setiap tingkatan, maka sekolah harus menyiapkan 13 ruangan yang sesuai dengan nama bidang studi tersebut. Sekalipun demikian model tersebut memiliki keuntungan dan kelemahan. Jelasnya siswa setiap mata pelajaran berganti, mereka berganti juga ruangan sesuai dengan mata pelajaran yang akan dipelajari pada jam berikutnya. Adapun keuntungannya;Guru yang kurang memiliki kemampuan dan bersifat apatis merasa tertolong dengan situasi pembelajaran. Selain itu bagi kepala sekolah dapat dengan mudah mengontrol guru yang tidak hadir pada jam pelajaran tersebut. Bagi siswa dapat tercipta suasana baru pada setiap hari sehingga dapat mengurangi kejenuhan dalam belajar.Selain keuntungan adapula kelemahannya; Siswa terkadang tidak terkontrol dalam perpidahannya itu, bahkan tidak menutup kemungkinan dalam perpindahan  diambil alih orang lain selain gurunya, lebih dari itu tidak menutup kemungkinan diambil oleh non profesi guru.
Ketiga, Guru ikut, salah satu langkah pengelolaan pengajaran yang dilaksanakan melalui para guru mengikuti siswa kejenjang kelas lebih tinggi, dalam ruang lingkup jenjang pendidikan yang sama. Misalnya, guru ekonomi kelas I ikut mengajar siswanya dikelas II pada tahun berikutnya.Adapun kelemahannya, dapat memunculkan kejenuhan baik guru maupun siswa sehingga berakibat hasil belajar maksimal sulit diwujudkan.Namun demikian keuntungannya, guru dapat lebih maksimal dalam melaksanakan PBM. Karena karakteristik siswa telah dikenal baik secara individual maupun secara kelompok.

Kesimpulan dan saran  

         Beberapa model dan langkah-langkah pengelolaan pendidikan menuju peningkatan mutu pendidikan telah dikemukakan, ternyata penulis mengambil kesimpulan sementara bahwa tidak ada satupun model yang tidak memiliki keuntungan, begitupula kekurangan baik itu sekolah unggulan, kelas unggulan, maupun manajemen kelas yang terdiri dari;kelas tetap, kelas bejalan, dan guru ikut. Dengan demikian suatu kewajaran kalau dikatakan bahwa untuk meningkatkan mutu pendidikan tidak satupun model dan langkah paling terbaik, begitupula tidak satupun terjelek yang pasti penggunaannya harus disesuaikan dengan kondisi setempat. Olehnya itu disarankan kepada pengelola pendidikan agar dalam memilih model pengeloaan yang sesuai dengan kondisi sumberdaya yang tersedia. Selain itu rencanakan dengan baik sebelum dilaksanakan. Sebab orang tua bilang melakukan suatu pekerjaan tanpa direncanakan secara matang  sama halnya merencanakan kegagalan yang Pada akhirnya akan menuai kegagalan.
  


                                                                   
                                                               

Daftar Pustaka

Bafaddal Ibrahim, 2003  Manajemen perlengkapan sekolah teori dan aplikasinya,                   Jakarta:PT. Bumi Aksara.

-------------------------, 2003   Manajemen peningkatan mutu sekolah dasar dari sentralisasi menuju desentralisasi. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Direktorat pendidikan Menengah Umum, 2001. Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah.Jakarta: Depdiknas

Mohman Albers Susanj, 1994. School based management, organizing for hight performance. San Francisco

Nata Abuddin, 2003         Manajemen pendidikan (mengatasi kelemahan pendidikan Islam di Indonesia). Jakarta timur: Prenada Media.

Stephen.P. Robbins, 1999. Manajemen(Mnagement, Sixth Edition). Jakarta: PT. Prenhallindo

Syafri,  2003.             Manajemen sumber daya manusia Strategik. Jakarta selatan:Ghalia Indonesia

Thoha Miftah , 2001.   Kepemimpinan dalam manajemen suatu pendekatan prilaku.Jakarta : PT.Rajagrafindo Persada.

                     


         


              













MUTU PENDIDIKAN  ANTARA HARAPAN DAN KEPERIHATINAN

Zaenuddin Kabai
(Guru SMAN  2 Bantaeng)
081342537529

Pendahuluan

       Mengenai kualitas sumber daya manusia(SDM) sampai sekarang masih menjadi perbincangan dimanca Negara. Tidak ada satupun bangsa di dunia terbebas dari perbincangan kualitas SDM. Di Indonesia jauh sebelum era reformasi kualitas manusia sudah menjadi sentral perbincangan. Terbukti dalam mukaddima UUD.45. termaktup mengenai kecerdasan kehidupan bangsa.
        Begitu pula UU Sisdiknas 1989 dan UU Sisdiknas no 20 th 2003.Pda pasal 3 detekankan bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlaq mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
       Menyadari hal tersebut, suatu kewajaran jika pemerintah menempuh berbagai macam cara dalam rangka meningkatkan kualitas manusia Indonesia agar bangsa Indonesia memiliki kemampuan kompetitif dengan bangsa-bangsa lain dimanca Negara. Sekalipun kenyataannya apa yang tertulis dalam UU Sisdiknas 2003. masih merupakan suatu angan-angan.Sebab ketertinggalan bangsa Indonesia dengan bangs-bangsa lain diberbagai segi dan terutama ketertinggalan dengan mutu pendidikan kita tidak bisa di ingkari.
        Menyadari kondisi ideal (subyektif) dan kondisi obyektif (kenyataan), maka yang menjadi pertanyaan adalah ; Apakah langkah-langkah yang ditempuh untuk mengatasi rendahnya mutu pendidikan kita. Dengan tujuan disatu sisi sebagai salah satu wujud kepedulian penulis terhadap mutu pendidikan di Indonesia, sekaligus sebagai salah satu bahan pemikiran bagi pembaca. Disisi lain sebagai salah satu langkah dalam mengkaji mengenai penyebab rendahnya mutu pendidikan jika dibanding dengan Negara berkembang lainnya dimanca Negara. Tulisan ini kalaupun ada mamfaatnya: Agar supaya semua puhak dapat termotivasi untuk berkreasi menuju peningkatan mutu pendidikan diIndonesia secara pragmatis dan bukan teoritis. Dengan demikian kualitas pendidikan di Indonesia dapat berkompetisi dengan Negara-negara yang maju didunia.
Keperihatinan Terhadap Mutu Pendidikan   
                Masalah kualitas pendidikan antara lain kualitas calon anak didik, (bahan Baku), guru dan tenaga kependidikan lainnya, prasarana pendidikan, ditambah lagi kurikulum yang masih jauh tertinggal dari kebutuhan masyarakat terutama pada sekolah menengah umum. Ditingkat operasional, masalah kualitas pendidikan tentunya tidak terlepas dengan kualitas proses, sementara proses sangat ditentukan oleh kualitas mengajar guru, dan kualitas siswa dengan tidak ketinggalan unsure lainnya.Sekalipun ujung-ujungnya adalah tidak terlepas dengan bagaimana system pembinaan guru yang professional dan bagaimana kesejahteraan guru selaku leading sector kualitas pendidikan.
         Ketertinggalan bangsa Indonesia dari segi hasil belajar tertulis dengan laporan studi the world bank, bahwa hasil tes kemampuan membaca para siswa kelas IV SD di Indonesia masih menempati peringkat terakhir di Asia timur. Sedangkan menurut hasil dari the third international mathematic and science study-repeat, prestasi belajar siswa kelas II SLTP di Indonesia menempati urutan ke 32 untuk IPA dank e 34 untuk matematika dari 38 negar berpartisipasi dalam studi. Bahkan, survey the political and economic risk consultancy (PERC) dari 12 negara terlibat Indonesia dinilai dalam rekor kesrah paling terburuk diasia tenggara. UNESCO (2000) Bahkan pringkat indeks pengembangan manusia(human development indeks) yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan,kesehatan,dan penghasilan setiap kepala menunjukkan bahwa Indonesia dari 174 negara didunia menempatiurutan ke 102, pada tahun 1996. Urrutan ke 99 pada tahun 1998, tahun 1999, urutan ke 109, semoga tahun 2013 dan seterunya Indonesia berada pada jajaran peringkat 10 besar di Asia, Bahkan di dunia dan bukan tergolong 10 besar Negara terkorup di dunia. Akan tetapi peningkatan daya saing (kompetitif) menduduki urutan ke 37 dari 57 negara didunia berdasarkan laporan the world economic forum, Swedia.Meningkat menjadi urutan ke 10 dari 57 negara di dunia.
          Disinyalir penyebab rendahnya kemampuan kompetitif diakibatkan kurang memadainya pengetahuan keterampilan dan profesionalisme, sehingga berdampak negatif terhadap persaingan dalam dunia kerja / bisnis. Terbukti dengan maraknya ekspatriate (tenaga ahli, konsultan,menejer) dari bangsa lain yang mendulang dollar di negeri ini. Sebaliknya kita hanya mampu merebut peluang kerja paling bawah dinegeri orang. Bahkan di negeri sendiri. Selain itu kemerosotan moral dan akhlak manyarakat Indonesia, yang ditandai dengan maraknya, (1) praktek korupsi, kolusi, nepotisme, (2) kasus narkoba dan pelecehan seksual,(3) pelanggaran HAM serta pemaksaan kehendak, (4) perkelahian antar pelajar, antar warga, dan bahkan antar suku,(5) pencurian, penodongan, dan perampokan yang menyebabkan kurangnya rasa aman baik dirumah maupun ditempat-tempat umum. Ditambah lagi relevansi hasil pendidikan dan kebutuhan masyarakat, terbukti masih banyaknya lulusan pendidikan diberbagai jenjang belum mampu mandapatkan pekerjaan apalagi untuk mendirikan lapangan kerja. Data Bappenas 91996) tahun 1990, pengangguran lulusan SMA 25,47 % Diploma/S0 sebesar 27,5 % dan perguruan tinggi 36,60%. Sedangkan pada tahun itu juga pertumbuhan kesempatan kerja masing-masing-masing jenjang SMA 13,4 %. Diploma /So 14,21 % dan perguruan tinggi15,07 %. Kesemuanya itu tidak terlepas dari rendahnya pengetahuan, keterampilan, dan daya kreatifitas bagi semua lulusan sehingga mereka tidak mampu mengisi lapangan kerja yang teresedia.Laporan terakhir dari ketua majelis pertimbangan partai amanat nasional (PAN)  Prof.Dr.H. Amin Rais, melalui percakapannya denga ketua umum DPP. PAN  mengatakan saat ini pertumbuhan ekonomi kita mencapai hamper 10 %. Sekalipun belum tentu dapat merubah stuktur perekonomian Indonesia secara keseluruhan. Sebab jangan sampai peningkatan pertumbuhan itu hanya dinikmati oleh orang perseorang alias pemerataan pendapat masih sangat jauh dari harapan.
         Dalam kaitannya dengan kualitas mutu pendidikan melalui penekanan kurikulum pandidikan selama ini lebih menekankan pada asfek kognitif tanpa memperhitungkan asfek lainnya, kalaupun ada hanya sekedar catatan  belaka. Padahal seharusnya bertumpu pada empat pilar yakni ; pengetahuan, keterampilan, kamandirian, dan kemampuan untuk bekerja sama. Sehingga muncullah kecakapan hidup bagi setiap peserta didik dengan tidak menapikan taksonomi bloom. Kualitas guru dalam mengelolah pembelajaran dikelas salah satu penentu keberhasulan pendidikan. Davis dalam (Imron, 2002) menyatakan Teacher is the key person in the classroom.Katanya gurulah yang paling berperan dalam proses belajar mengajar dikelas. Dengan demikian keberhasilan pendidikan sangat ditentukan oleh kemampuan guru dalam penguasaan materi pelajaran(what to teach) dan keterampilan dasar pembelajaran (basic  teaching-learning skills) termasuk metodologi pembelajaran (ho to teach). Ternyata data dari Balitbang Diknas (1998) dari kurang lebih 12 juta guru SD/MI baru 13,8 % yang berpendidikan  D2 kependidikan keatas.
       Dari segi penguasaan materi pembelajaran masih rendah. Terbukti hasil penelitian menunnjukkan mengenai penguasaan materi EBTANAS guru SD/MI, SLTP/MTs, masih ada yang mendapat nilai kurang, antara IPA dan Matematika. Begitu pula basic education project menunjukkan bahwa banyak guru SD/MI yang masih belum menguasai keterampilan dasar pembelajaran, masih menoton dan menggunakan komunikasi satu arah (one way communication) dalam mengelola pembelajaran dikelas. Diakui atau tidak kurang memadainya kemampuan professional guru, secara pasti berpengaruh siknifikan pada kualitas pembelajaran dan tentunya hasil belajar ikut terpengaruh.
           Dari segi system pembinaan karir professional dan kesejahteraan guru telah disadari oleh kalangan public bahwa sekalipun guru adalah the key person dalam pembelajaran, mutu pendidikan bukanlah tanggung jawabguru semata. Disinyalir oleh semua kalangan bahwa tidak mungkin guru dapat bekerja secara maksimal tanpa system pembinaan professional, karir, serta kesejahteraan mereka belum berjalan sebagaimana mestinya. Didaerah terpensering mengalami kesulitan dalam mengurus usul kenaikan pangkatnya dan bahkan ini menyebabkan terjadinya stress.
            Selain karir, pembinaan profesi guru juga masih asal-asalan. Bahkan sering ada istilah dari orang yang prihatin terhadap profesi guru mengatakan bahwa ternyata pembangunan fisik lebih utama dari pada pembangunan yang bermuara peningkatan kualitas manusia(non fisik). Dengan berbagai macam alasan bahwa fisik dapat diukur dan dilihat, sementara non fisik sulit diukur saat itu, tapi memerlukan waktu yang panjang. Padahal untuk melanggengkan pembangunan fisik tidak mungkin tanpa kualitas kecerdasan yang dimiliki oleh setiap warga Negara.

Kesimpulan dan Saran

        Ketika kita menyadari beahwa ternyata memang betul bahwa mutu pendidikan masih sngat rendah jika dibanding dengan Negara-negara lainnya, didunia maka sewajarnyalah Negara ini betul-betul memberdayakan seluruh potensi sumberdaya guna peningkatan mutu pendidikan, kalau kita ingin memburu ketertinggalan kita diera persaingan ini.
        Sebab pendidikan adalah merupakan satu-satunya cara untuk meningkatkan kualitas SDM. Baik itu melalui pendidikan formal, pendidikan nonformal maupun pendidikan imformal. Sementara kualitas pendidikan itu tidak mungkin tanpa maksimalisasi kualitas pembelajaran. Maka dari untuk mewujudkannya tidak akan mungkin tanpa peningkatan kualitas tenaga pengajar (guru). Olehnya itu pembinaan tenaga guru dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan merupakan suatu keharusan.Tanpa itu maka peningkatan kualitas output sangat sulit untuk diwujudkan menjadi nyata.

Daftar pustaka    

Imron Ali, 2002.Kebijaksanaan pendidikan diIndonesia, Jakarta; PT.Bumi Aksara .  
Undang-undang dasar 1945. Hasil Amandemen 
UU. Nomor 2 tahun  1989. Tentang Sisdiknas
UU. Nomor 20 tahun 2003.Tentang Sisdiknas
Harian Kompas .20 april 1988.
Majalah Forwas  16/ XII/2003 dan 17/XII/2004