TOLAK UKUR KUALITAS PENDIDIKAN DAN UPAYA PENINGKATAN
MUTU PENDIDIKAN
Zaenuddin Kabai
(Guru SMAN 2 Bantaeng)
081342537529
Sampai saat ini Indonesia belum
memiliki alat ukur kualitas luaran yang baku.Terbukti kompetisi tingkat
internasional Indonesia berada dipapan bawah. Padahal sudah dilakukan berbagai
cara, sayangnya masih sering terjadi kagiatan yang menodai kegiatan kearah
kualitas dengan mengutamakan kuantitas ketimbang kualitas, akibatnya output
kita tertinggal ketika bersaing dengan output dari Negara maju dalam
rangka merebut pasar kerja ditingkat
atas. Padahal ukuran yang dicoba WHO mengenai tolak ukur indeks kegiatan hidup
sehari-hari, indeks kemampuan kerja,dan kemampuan menghasilkan
pendapatan(kemandirian), sampai saat ini ketiga tolak ukur ini dijadikan
sebagai patokan maka kemungkinan kita diperhadapkan oleh biaya pengukuran, dan
siapa yang akan mengukurnya dan bagaimana cara pengukurannya. Kalaupun
pengukuran output dengan ujian akhir nasional bisa dikelola secara maksimal,
meminimalisir kecurangan didalam ujian nasaional maka kemungkinan besar
Indonesia akan terangkat statusnya lebih tinggi dari papan bawah menuju papan
tengah dalam persaingan dengan output Negara maju.
Peningkatan mutu pendidikan merupakan
suatu pekerjaan yang multi kompleks.Oleh karena itu penulis hanya membatasi
bahasan mengenai; tolak ukur mengenai kualitas manusia Indonesia, pendidikan
kecakapan(life skills). Dengan tujuan ; (1) untuk mengkaji tolak ukur yang
bagaimana seharusnya (2) untuk melakukan salah satu upaya untuk meningkatkan
mutu melalui pendidikan kecakapan skill . Dengan harapan; (1) sebagai salah
satu bahan banding dalam rangka menjejaki tolak ukur yang benar-benar sesuai
dengan peningkatan kualitas mutu pendidikan (2) sebagai salah satu bahan referensi bagi penulis berikutnya
Tolak Ukur Kualitas Pendidikan
Tolak ukur mengenai kualitas manusia
Indonesia, Kartono Muhammad (Kompas, 20 April 1988) mengatakan bahwa apakah
kualitas manusia Indonesia yang dicita-citakan tercapai atau belum, tentunya
harus ada tolak ukurnya. Inilah seringkali kita mengalamikesulitan. Sebab
diserahkan pada satu tim belum tentu tidak melahirkan kecurigaan. Selanjutnya
Kartono mengusulkan 2 (dua) ukuran yakni ukuran kualitas bahan baku dan ukuran
hasil (output).
Pertama, Mengukur kualitas bahan baku
atau faktor masukan menjadi jaminan adanya hasil yang sebanding, unsur masukan
tadi peling tidak sudah dapat dijadikan indikator tentang upaya yang telah
dilaksanakan, baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat sendiri.
Selain mengukur masukan dari luar, faktor
masukan dari menusia itu sendiri perlu diperhitungkan. Artinya apakah menusia
sebagai subyek yang diproses juga berkualitas tinggi. Alasannya adalah semaik
bahan baku yang dimasukkan untuk diproses semakin baik pula hasilnya manakala
diproses secara professional. Olehnya
itu manusia dipersiapkanm berkualitas sejak usia dini. Anak-anak Indonesia
harus mempunyai kesehatan yang baik, fisik yang baik, dan prilaku social yang
baik. Sehingga dengan pendidikan agama dan pendidikan umum yang bermutu baik
pula, ia akan dapat diolah menjadi manusia yang sesuai dengan criteria UU
Sisdiknas no. 20 Tahun 2003. Untuk mengukur kualitas kesehatan dan kualitas fisik
tidak terlalu sukar. Bahkan dari pertumbuhan tinggi dan berat badan saja,
gambaran tentang mutu kesehatan mereka sudah dapat dilihat. Bukan hanya
kesehatan pada saat itu diukur saja, tetapi juga kesehatan sejak masih dalam
kandungan sampai ke usia 7-10 tahun.
Untuk mengukur kualitas prilaku sosial
anak, agar ia dapat menjadi bahan baku bermutu, Dr Bentsen dari Norwegia dalam
Muhammad (1988) mengusulkan penggunaan nilai hubungan social (family apgar), yang terdiri dari angka
(skor), hubungan anak dengan saudara-saudaranya dan angka hubungan anak dengan
teman-temannya.Bagi orang dewasa harus ditambahkan dengan hubungan orang dewasa
dengan teman sekerjanya. Mengukur kualitas kesehatan saja dan prilaku sosial
belum tentu merata dengan menggunakan tolak ukur tersebut.
Kedua, Mengukur Hasil (output) dengan
bahan baku yang berkualitas dengan
pengelolaan yang baik pula diharapkan dapat tercapai hasil maksimal pula.
Tetapi pengukuran apakah hasil yang dicapai baik dan sesuai tuntutan Sisdiknas
no.20 th 2003. Tentunya bukan hal yang mudah terutama karena yang dihadapi
adalah manusia yang hidup, tumbuh dan mempunyai otak untuk berpikir. Sekalipun
tidak terlepas dari pengaruh eksternal dan internal.
Pengukuran output melalui ujian akhir
nasional, adalah salah satunya cara dalam mengendalikan dan penjaminan mutu
kualitas (quality control and assurance)
pendidikan. Persoalannya adalah system pengujian pendidikan, sebab disadari atau
tidak ada beberapa masalah yang ditinggalkan antara lain; Pertama, Ujian akhir nasional(UAN), ujian nasional (UN), Sangat
bepariasi dari tahun-ketahun, terkadang tidak memberikan ruang gerak kepada
sekolah dalam menentukan kelulusan siswanya,
seperti yang pernah terjadi pada UAN tahun 2004. Padahal yang melakukan
proses pendidikan kepada siswa adalah sekolah dengan berbagai kemampuan dan
potensi yang dimilikinya. Dengan mematok angka yang ditetapkan secara nasional
(4,01). Padahal otonomo sekolah selama ini merupakan salah satu program
nasional dalam kaitannya dengan otonomi daerah alias desentralisasi dibidang
pendidikan. Tapi kenyataannya masih seperti yang berhak meluluskan seluruh
Indonesia adalah Diknas pada saat itu. Kedua,
Selain itu muncul lagi istilah konversi nilai UAN. Hal seperti ini sepertinya
nilai UAN juga sama seperti main-mainan, dengan alas an mengenai titik temu
perbedaan mutu antar daerah. Ketiga,
UAN 2004 belum konsisiten terhadap tujuan prndidikan secara nasional, karena
dalam prakteknya hanya menilai aspek kognitif dan hampir melupakan aspek
lainnya. Pertanyaannya sekarang bagaimana seharusnya UAN. Mengingat kesenjangan
antara pasilitas, SDM serta system pengujian kita masih belum tepat, maka
merupakan satu hal yang sangat sulit untuk menentukannya. Andaikata kita sudah
memiliki system pengujian yang baku atau sesuai dengan standar yang diharapkan,
kesenjangan antara fasilitas dan SDM antar daerah diseluruh Indonesia tidak
lagi terjadi, maka menentukankualitas mutu pendidikan tidak terlalu sulit.Tahun
ajaran 2012-2013 untuk sekolah menengah umum diberi standar kelulusan 5,5 dengan dasar perhitungan
40% x nilai sekolah (NS) +60% x UN = 5,5. NS = Rata-rata(R) nilai semister 3,4dan 5 + nilai Ujian Sekolah
(NS).
Upaya peningkatan mutu pendidikan
Kendatipun demikian beberapa hal yang
biasanya dilakukan dalam pengendalian dan penjaminan mutu pendidikan sebagai
berikut: (1) Pemberdayaan sekolah ( satuan pendidikan) secara optimal, (2)
Pengendalian dan penjaminan mutu pendidikan secara nasional, dapat dilakukan
oleh pusat (baik oleh depardemen atau
lambaga independen) yang memiliki kualifikasi untuk melakukan pengujian, (3)
Optimalisasi pemanfaatan lembaga penjamin mutu pendidikan(LPMP) terutama
didaerah, (4) Peningkatan mutu pendidikan melalui pendidikan kecakapan (life skills).
Pemberdayaan sekolah ( satuan
pendidikan) secara optimal, barangkali kita sependapat bahwa ujian adalah
berfungsi menentukan kelulusan siswa, dapat dilaksanakan oleh sekolah tetapi
tetap mengacu pada standar kemampuan yang telah ditetapkan dalam standar
nasional. Untuk menghindari insiden diskriminasi terhadap suatu provinsi
tertentu, perlu digunakan satu standar kelulusan dengan peringkat tes yang
dimiliki tingkat kesulitan yang sama untuk semua wilayah.Berikan kesempatan
kepada masing-masing provinsi, sekolah untuk menentukan standar kelulusan yang
lebih rendah atau lebih tinggi atas dsar keputusannya sendiri. Ujian sekolah
juga berfungsi mengendalikan mutu pendidikan. Ini yang justru dirasakan semakin
penting dalam era desentralisasi. Bahkan ada yang menilai bahwa ujian sekolah
seperti ini menjadi sarana ampuh untuk menilai akademis yang dikembangkan oleh
sekolah dengan standar yang ditetapkan pusat, penilaian lainnya sesuai dengan
amanat pasal 3 Sisdiknas juga dapat dipotret dengan baik.
Pengendalian dan penjaminan mutu
pendidikan secara nasional, dapat dilakukan oleh pusat (baik oleh
depardemen atau lambaga independen) yang
memiliki kualifikasi untuk melakukan pengujian,Dalam pasal 58 Sisdiknas jelas
disebutkan bahwa evaluasi belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk
memantau proses, kemajuan dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara
berkesinambungan, sedangkan evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan
program pendidikan, dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh,
transparan dan sistimatik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan.
Merujuk pada tersebut, pemerintah bisa mengembangkan model ujian secara
nasional yang benar-benar mampu memotret mutu pendidikan secar5a nasional dalam
rentang waktu dan metode tertentu. Jika ujian yang dilakukan secara nasional
tidak untuk menentukan kelulusan siswa namun untuk memotret/memetakan mutu
pendidikan secara nasional dan dapat dilakukan kapan saja atau uji sampling.
Dengan demikian akan mendapatkan potret mutu pendidikan dengan sebenarnya, dan
bukan hanya sandiwara belaka, karena tidak dibayang-bayangi dengan ancaman
ketidak lulusan dan biaya yang harus dikeluarkan jika banyak siswa yang
mengulang. Karena memang bukan untuk meluluskan atau menidakluluskan siswa,
akan tetapi dalam kerangka pengendalian dan penjaminan mutu pendidikan secara
nasional. Kendatipun bukan berarti bahwa dengan cara tersebut tidak memiliki
kekurangan akan tetapi tidak seperti cara sebelumnya.
Optimalisasi pemanfaatan lembaga
penjamin mutu pendidikan(LPMP) terutama didaerah, dalam era persaingan semakin
tajam, tidak ada satupun yang mampu mengelak kecuali terlibat didalamnya. Baik
itu secara indifidu, secara kelompok ataupun melalui kelembagaan. Disemua aspek
kehidupan baik politik, ekonomi,social budaya. Tentunya sangat berbeda dari era
sebelumnya. Pendidikan sebagai salah satu pilar utama untuk memberikan
kemampuan atau kecakapan atau kekuatan untuk memenangkan persaingan tersebut
melalui pembentukan paradigm baru berupa sistem pendidikan yang dipakai tiap
daerah sesuai dengan kebutuhan daerah itu sendiri.
Dalam konsep otonomi daerah,
kewenangan pusat dilimpahkan kedaerah, salah satunya adalah penataan dibidang
pendidikan. Akan hal ini dilaksanakan oleh daerah secara maksimal. Sejak tahun
1998. Otonomi daerah telah berlangsung padahal kalau kita menengok kebelakang
era tahun 70-an dan 80-an untuk asia tenggara, Indonesia masih menduduki
peringkat atas dari segi indeks pembangunan manusia (IPM) samapai sekarang
Indonesia peringkat atas tinggal kenangan belaka. Disinyalir penyebab rendahnya
mutu pendidikan adalah lemahnya manajerial, dana yang kurang memadai, KKN yang
merajalela, disiplin dan etos kerja sangat rendah, rekruitmen pegawai yang
kurang obyektif, masih rendahnya dan tidak meratanya kualitas guru yang ada
saat ini, kesempatan guru sangat kurang untuk mengembangkan profesi melalui
penataran oleh LPMP, terutama pada guru-guru yang bertugas didaerah terpencil.
Oloeh karena itu ada beberapa hal
yang perlu dibenahi dalam LPMP agar memenuhi tugasnya dalam merealisasikan
kesetraan pendidikan nasional disetiap daerah dalam rangka menindak lanjuti
kurikulum tahun 2013 seperti yang diharapkan
pemerintah : (1) pengendalian manajemen (2) Struktur organisasi (3) sumber daya
manusia (4) Dana , (5) sarana dan prasarana (6) kelengkapan data (7) pengawasan.
Peningkatan mutu pendidikan melalui
pendidikan kecakapan (life skills). Dengan kesadaran semua pihak bahwa salah
satu penyebab terdepaknya luaran pendidikan di era persaingan diseluruh aspek
kehidupan dipanggung internasional adalah karena tidak adanya kecakapan hidup
yang dimiliki oleh setiap luaran pendidikan kita. Hal ini ditandai oleh
banyaknya alumni SLTA dan perguruan tinggi tidak mampu memposisikan diri
dilapangan pekerjaan atau menganggur. Apatah lagi ketika dituntut untuk mendirikan
lapangan kerja guna menampung teman-temannya atau sesama pencari kerja. Padahal
kemampuan akademinya cukup memadai, tapi toh tidak mampu bersaing dilapangan pekerjaan. Andaikata mereka memiliki
kecakapan hidup maka mereka mau dan berani menghadapi problema hidup dan
kehidupan secara wajar, tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan
kreatif mencari serta menemukan solusi sehingga akhirnya mampu mengatasi semua
permasalahan yang dihadapi.
Kesimpulan dan saran
Ketika kita menyadari bahwa ternyata memang betul bahwa mutu
pendidikan kita masih sangat rendah jika disbanding dengan Negara – Negara
lainnya, maka sudah sewajarnyalah Negara ini betul-betul memberdayakan seluruh
potensi sumber daya guna peningkatan mutu pendidikan, kalau kita ingin memburu
ketertinggalan kita di era persaingan ini. Selain itu pemantapan tolak ukur
baik dari segi input maupun output merupakan suatu kemutlakan. Begitupula
optimalisasi pemanfaatan LPMP dan peningkatan mutu pendidikan melalui peningkatan kecakapan hidup dalam
rangka memburu keteringgalan kita dimata persaingan internasional. Sebab
ketertinggalan tidak mungkin dapat dijawab tanpa melalui upaya peningkatan
kualitas pendidikan. Sementara kualitas pendidikan sangat ditentukan oleh kompetensi
guru.
Oleh karena itu jika membutuhkan kualitas pendidikan maka perbaikilah
kualitas gurunya. Karena kualitas output sangat ditentukan oleh kualitas
proses. Sedangkan dalam proses terdapat dua komponen utama dan komponen
penunjang lainnya. Komponen utama dalam proses adalah guru dan siswa, dan
komponen lainnya adalah sarana dan prasarana serta dukungan dari berbagai pihak
baik moril maupun materil.
Daftar pustaka
Bafaddal Ibrahim, 2003 Manajemen
perlengkapan sekolah teori dan aplikasinya, Jakarta:PT. Bumi Aksara.
-------------------------, 2003 Manajemen peningkatan mutu sekolah dasar
dari sentralisasi menuju desentralisasi. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Imron Ali, 2002.Kebijaksanaan
pendidikan diIndonesia, Jakarta; PT.Bumi Aksara .
Undang-undang dasar 1945. Hasil
Amandemen
UU. Nomor 2 tahun 1989. Tentang Sisdiknas
UU. Nomor 20 tahun 2003.Tentang
Sisdiknas
Harian Kompas .20 april 1988.
Majalah Forwas 16/ XII/2003 dan 17/XII/2004
Direktorat pendidikan Menengah Umum, 2001. Manajemen peningkatan mutu
berbasis sekolah.Jakarta: Depdiknas
Mohman Albers Susanj, 1994. School based management, organizing for
hight performance. San Francisco
Nata Abuddin, 2003 Manajemen
pendidikan (mengatasi kelemahan pendidikan Islam di Indonesia). Jakarta
timur: Prenada Media.
Stephen.P. Robbins, 1999. Manajemen(Mnagement, Sixth Edition).
Jakarta: PT. Prenhallindo
Syafri, 2003. Manajemen sumber daya manusia
Strategik. Jakarta selatan:Ghalia
Indonesia
Thoha Miftah , 2001. Kepemimpinan
dalam manajemen suatu pendekatan prilaku.Jakarta : PT.Rajagrafindo
Persada.